Entah keberapa
kalinya, aku merasakan hal seperti ini.
Rasa yang ada pada diriku ini mungkin tidak seberapa
dibandingkan dengan rasa yang ada pada diri orang lain. Walau begitu, rasa ini
tetap satu nama “SAKIT”. Yah, begitulah… SAKIT, setiap orang pasti tidak
menginginkannya, bahkan ada yang sampai rela menyediakan berbagai pencegahan
untuk mengantisipasi kedatangannya. Itu memang tidak salah, dan itu juga
merupakan sikap manusiawi dan masuk akal. Akan tetapi disamping itu, hendaknya
kita juga tidak menafikan akan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Sehingga ketika sakit itu datang, kita tidak mencela usaha
kita sendiri yang sebelumnya kita sudah mengantisipasi dengan sebaik mungkin.
Apa lagi sampai mencela Allah subhanahu wa ta’ala; “Allah tidak adil, kenapa
masih saja datang penyakit kedalam diriku, padahal aku sudah berusaha mencegah
dan mengantisipasinya dengan berbagai cara. Aku sudah beli berbagai vitamin,
suplemen, obat-obat herbal, berolah raga, dan sebagainya… tapi kenapa,,,, ini
tidak adil, benar-benar tidak adil”. Seperti itulah gambarannya, ternyata masih
ada diantara kita yang sering menggugat takdir tanpa berfikir terlebih dahulu.
Seakan-akan apa yang menimpanya itu benar-benar bencana atau sesuatu yang
sangat buruk untuknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula)
kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang
kamu tidak mengetahui”. (al baqoroh : 216)
Maka dari itu, hendaknya kita percaya bahwa apa yang menimpa kita adalah
termasuk ketentuan dan ketetapan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Adakalanya itu
sebagai ujian pembuktian akan kesabaran kita dan adakalanya itu sebagai ujian
pembuktian akan kesyukuran kita, dan pun adakalanya sebagai ujian kerelaan
(keikhlasan) kita.
“Tidak ada suatu
musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa
yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (at taghobun : 11)
Lantas termasuk yang manakah kita :
a.
Bersabar atas cobaan atau
musibah yang sedang dialami (Biasa), karena orang yang sedang tertimpa musibah
secara otomatis akan terdorong untuk bersabar.
b.
Bersyukur atas cobaan atau
musibah yang sedang dialami (Lebih dari biasa), ini yang sangat jarang. Karena
kebanyakan orang ketika tertimpa musibah enggan melihat atau melirik kepada
mereka yang lebih berat musibahnya, sehingga memustahilkan baginya untuk
bersyukur. Meskipun dia mampuh untuk bersabar.
c.
Rela (Ikhlas) menerima
cobaan atau musibah yang sedang dialami (Luar biasa), sikap ini-lah yang luar
biasa yang mana tidak semua orang bisa memilikinya. Dan yang bisa memilikinya
hanya-lah seseorang yang benar-benar iman_Nya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sikap sabar dan syukur tercakup kedalam sikap ini secara
natural.
Wahai kawan,
sebenarnya ketika kita sedang sakit/tertimpa musibah, kita bisa saja merasa bahagia jikalau kita
memang menginginkannya. Lalu bagaimana…??? Katakan saja, “aku sakit/aku
tertimpa musibah, tapi aku bahagia (realisasi SABAR).. terima kasih ya Allah
(realisasi SYUKUR).. ini hanya sementara (realisasi IKHLAS)”. Mudahkan..!!! dan
tentu di ucapkan dengan berulang-ulang sambil menyunggingkan bibir semanis
mungkin. Dan jangan lupa bahwa realisasi yang sesungguhnya adalah dengan tetap
beribadah, berdoa, dan bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, juga
dengan tidak menggugat takdir_Nya. Karena itu sama saja mengingkari keputusan
dan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kita. Dan hukum mengingkarinya
adalah KAFIR. Wal ‘iyadzu billah.
Dan sebagai hadiyah
special untuk anda wahai kawan,
Jikalau anda sedang sakit/tertimpa musibah maka ingatlah
baik-baik unkapan suri tauladan kita ini dan jadikanlah ungkapannya ini sebagai
penghibur hati anda.
“tidak-lah
seorang muslim ditimpa suatu musibah, rasa sakit, kesedihan, kegundahan bahkan
duri yang menusuknya. Melainkan akan dihapuskan dosa darinya”
(atau sebagaimana yang disabdakan)
Dan maksud dosa dalam hadits ini adalah dosa kecil, adapun dosa besar maka
penghapusnya adalah taubatan nasuha.