Al Qur’an,, sejak kecil aku sudah mengenalnya. Ia layaknya
seperti sebuah buku berjilid yang didalamnya bertuliskan huruf-huruf arab. Aku
sempat dibuat penasaran oleh buku berjilid ini, karena untuk bisa membacanya
aku harus menjalani tahapan terlebih dahulu, yaitu; dengan mulai mengaji dari
IQRO pertama sampai IQRO keenam. Hem, Begitu bersemangatnya aku waktu itu ingin
segera menyelesaikan tahapan ngaji IQRO. Karena betapa besarnya rasa
penasaranku terhadap buku berjilid yang bertuliskan huruf-huruf keriting itu (begitulah
orang kampungku menyebutnya). Dan alhamdulillah, aku tidak butuh waktu lama
untuk menghatamkan ngaji IQRO dari 1 sampai 6. Cuma kisaran 5/6 bulan saja.
Setelah itu, aku mulai merambaki huruf-huruf keriting yang sebelumnya aku fikir
mudah untuk membacanya. Tapi ternyata, sungguh sangat berbeda. Aku diharuskan
membacanya secara tartil sesuai dengan tajwidannya (hukum bacaan Al Qur’an).
Malang nian nasibku kala itu, karena ternyata (aku yang masih kecil) otakku
belum bisa meresapi apalagi memahami hukum-hukum bacaan Al Qur’an. Jadilah aku
membacanya dengan ala kadarnya sesuai dengan apa yang aku pelajari di kutubu
sittah (alias IQRO), tapi tentu tidak terlalu begitu parah (Cuma tahu
panjang pendek doang,, lumayan). Begitulah aku semakin dibuat penasaran
untuk bisa membacanya secara tartil dan sesuai dengan hukum tajwidnya.
Namun,
hal lain terjadi pada diriku. Setelah beranjak dewasa (ABG), aku malah mulai
menjauh dari Al Qur’an. Padahal waktu itu alhamdulillah, aku sudah bisa
membacanya secara tartil dan sesuai dengan hukum tajwid. Entah kenapa? Aku
seperti disibukkan oleh masa ke-ABG-anku. Sehingga sebagian besar waktuku habis
hanyalah untuk bermain dan nongkrong bersama kawan-kawan ABG yang lain. Bahkan
waktu ba’da maghrib pun aku pergunakan dalam kesia-siaan. Padahal dahulu, ba’da
maghrib merupakan waktu rutinku untuk mengaji Al Qur’an. Sampai ahirnya aku
malu sendiri ketika melihat banyak dari anak-anak kecil yang begitu bersemangat
dalam mengaji IQRO. Bahkan ada diantara mereka yang sudah sampai mengaji Al
Qur’an. Subhanallah, dipeluknya dengan erat Al Qur’an itu di dadanya
sebagai suatu kebanggaan. Hah, kenapa aku lupa bahwa waktu kecil aku pernah
seperti itu. Memeluk erat Al Qur’an di dadaku sebagai suatu kebanggaan diri
seraya bergumam dalam hati; “Aku-lah si sohib Al Qur’an”. Aku benar-benar
telah lalai. Astagfirull
Dan alhamdulillah, kini aku
mulai berkenalan lagi dengan Al Qur’an. Ingin mengenalnya dengan secara lebih
jauh, lebih jauh, dan lebih jauh lagi. Karena ternyata, Al Qur’an adalah kalam
(perkataan) Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang tersurat dan terkirim
buat kita semua sebagai petunjuk juga sebagai pedoman hidup agar kita bisa merasakan
kebahagiaan dunia-akhirat. Oleh karena itu, aku secara pribadi mulai
termotifasi untuk bisa lebih memahami
dan memperhatikannya lalu menyimpannya (menghafalnya) dengan tidak
sekedar hanya di kepala tapi juga di dalam dada. Dan insya Allah akan
berupaya juga untuk selalu mengaplikasikannya didalam kehidupan ini. Allahul
Musta’an.