Rabu, 08 Oktober 2014

Kasihan



Kasihan!
Mereka pikir, mereka sedang bekerja.
Kasihan!
Mereka pikir, mereka sedang meniti karir.
Kasihan!
Mereka pikir, mereka sedang membangun masa depan.
Kasihan, sungguh kasihan!
Mereka adalah budak.
“Kalau hidup cuma untuk makan, babi hutan juga makan. Kalau hidup cuma untuk bekerja, kera juga bekerja.” (Buya Hamka)
Mereka melucuti kehormatan, kemuliaan dan keanggunan diri mereka sendiri.
Meneriakkan alasan; begini begitu.
Padahal itu bukanlah alasan, itu adalah kebodohan.
Membela diri, padahal menjerumuskan diri sendiri.

Selepas Shalat Subuh



Ibu-ibu di belakang berbisik-bisik, terdengar sampai depan.
(Itulah wanita. Baru bisikan saja sudah terdengar dari jauh. Tidak terbayang bagaimana teriakannya... Hehe)

"Itu menantunya siapa yah?" bisik salah seorang dari mereka.

Aku yang mendengar, langsung tahu, bahwa kalimat itu sengaja terlontar menyinggungku.
Sebab, diantara jama'ah laki-laki, hanya aku yang bertampang seperti pengantin baru. *kebayang gak tuh! Hehe

Aku hanya diam saja. Duduk lama sambil membaca adzkaarush shabaah. Sambil berharap geng ibu-ibu itu segera keluar dari masjid. *geng ngerumpi.

"Bisa-bisanya ibu-ibu. Selepas shalat, bukannya berdzikir, malah ngerumpi," lirihku dalam hati.

Kemudian aku pun keluar.
Dan *Allaahu akbar ternyata ibu-ibu itu rapat berkumpul di muka gerbang masjid. Serempak menatapku laksana menatap seorang pangeran. *ini beneran loh! Hehe.

"Orang ganteng, kamu menantunya siapa?!" tanya salah seorang ibu yang rupa-rupanya beliau adalah ketua geng.
*bertanya tapi kayak orang mau ngajakin ribut. Hampir aku lempar pake batu tuh ibu. Hehe.

"...@$$&&*#+@##$%&#@*"!/?(/@'%/%/...," dibilang ganteng aku jadi salting. Mau ngomong tapi cuma mangap-mangap doang. *bayangin tuh!

"Pulangnya kemana?" tanya ibu-ibu yang lain.

"Loh, aku kan orang sini. Ko' pada gak kenal," ucapku dalam hati, "Ini ibu-ibu yang pada rabun atau wajahku yang berubah (maklum bertahun-tahun diterpa angin-debu rantauan)," lanjutku lagi. Masih dalam hati sambil garuk-garuk kepala. *jangan bayangin yang ada di ragunan loh!

Alhamdulillaah. Untungnya ada pahlawan yang menyelamatkanku dari segerombolan geng ibu-ibu itu. Dia adalah bapakku sendiri. Keluar dari masjid sambil menenteng basoka siap tembak. *jeder duar duar!

"Dia anakku ibu-ibu," jelas bapakku. Aku langsung ngeluyur saja, hawatir mentari terbit duluan. Bisa-bisa aku jadi serigala. *loh! Bukankah seharusnya bulan purnama?! Ah, mikirin. Hehe.

"Owh! Anaknya bapak toh, kirain siapa?" ucap serempak ibu-ibu. Merasa lega karena telah terjawab teka-teki tentang siapa diriku. *ciee.. Dramatis yah. Hehe.

Aku pun menghilang di telan rumah-rumah.

Ibu-ibu tangak-tengok lihat sana lihat sini. Mendapati diriku yang tengah hilang dari bola mata mereka.
*"mana dia?" "mana dia?" "mana dia?" hehe

‪#‎The end.

Abah



Abah!
Begitulah kami memanggilmu.
Abah!
Terasa cepat kepergianmu.
Abah!
Siapakah lagi yang akan mengajari kami setelahmu.
Abah!
Kami pernah duduk belajar sebagai murid-muridmu/santri-santrimu.
Terasa sungguh kesabaran dan ketabahanmu.
Mengajar kami. Mendidik kami. Membimbing kami.
Abah!
Suaramu. Jalanmu. Perilakumu. Wajahmu.
Barangkali kami akan mudah lupa.
Tapi sungguh, kami tidak akan pernah lupa untuk mengenang jasa-jasamu dalam setiap do'a. Insyaallaah.
Abah!
Engkau adalah guru kami.
Adalah ayah kami.
Adalah sahabat kami.
Adalah kakak kami.
Adalah hamba yang Allah sertakan kami bersamamu dalam kebaikan, ilmu dan amal sholih.
Abah!
Kami mencintaimu.
Semoga cinta kami ini adalah cinta yang timbul karena pengetahuan kami tentang betapa baik pribadimu.
Abah!
Wajahmu cerah. Tenang. Damai.
Ingin aku kecup keningmu.
Tapi cukuplah aku mengecupmu dengan do'a-do'a lirihku.
Abah!
Semoga Allah mengaruniakan untukmu syurga yang indah.
Allaahummaghfir lahu warhamhu wa taqabbal minhu jamii'a shoolihil a'maal. Innaka qariibun mujiibun sami'ud du'aa.

Senin, 21 Juli 2014

Insyaallah, semoga mencerahkan. Bertukar & Berbagi Wawasan Antara Kakak & Adik di Facebook.

Kakak
19 Juli pukul 8:03 ·
Takdir adalah sistem (pilihan), kau yang memilih mau jadi apa, baik atau buruk. (Quraish Shihab)


Adik : Sungguh celaka! Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq (mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya. Kemudian soal perkataan bapak quraisy syihab, maka sesungguhnya perlu diteliti lagi, karena mengingat betapa banyak pendapat atau perkataan beliau yang bersebrangan dengan ajaran yang sahih dari nabi sallallahu 'alaihi wa sallam, para sahabat radiyallahu 'anhum dan para tabi'in rahimahumullah. Kita memang dibolehkan mengambil ilmu dari mana pun sumbernya selagi itu sesuai dengan ajaran islam. Adapun ilmu yang bersebrangan dengan ajaran islam, maka itu bukanlah ilmu, akan tetapi kejahilan (kebodohan). Wallahu ta'ala a'lam. Semoga Allah memberi pemahaman yang baik kepada kita dan mengampuni segala kekeliruan dan kekhilafan kita. Innahu huwal ghafuurur rahiim.


Kakak : Sepertinya salah sekali saya mengutip kata-kata itu dari QS, padahal bukan sebuah kesesatan atau persoalan personal dari QS yang saya maksud dan diuraikan di sini. pikiran-pikiran anda masih bertumpu pada wilayah personal. mari baca penjelasan beliau dengan teliti dan penuh kesabaran. untuk persolan menguraikan takdir, saya hanya menangkap isi dari apa yang disampaikan, bila pun keliru (itu karena kekeliruan dan kebodohan saya yang menyimpulkan) bukan dari Pak Quraish Shihab. Mohon dipertimbangkan lagi pendapat saudara.

"Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq (mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya."

ukuran orang yang mumpuni masalah takdir itu seperti apa? kalau mendengarkan kajian beliau selama satu jam (QS), beliau sangat mumpuni dan pernyataan beliau sangat relevan dengan Alquran. Sungguh gegabah bila Anda hanya membuat pernyataan demikian tanpa tahu penjelasan beliau. Barangkali bila kata-kata di status itu salah (itu bukan salah Pak QS) melainkan, kekeliruan saya. Jadi, mohon klarifikasi lagi pendapat Saudara. Karena saya tidak mau Pak QS yang Anda judge. Saya di sini mendengar, mencermati, dan mencoba menganalisis dari apa yang beliau sampaikan. Bukan berarti saya coba-coba berbicara masalah takdir (secara mendalam). Saya masihlah awam, saya sadari itu. Saya mendengarkan ini bagian dari ilmu. Saya sedang belajar dan saya sedang berusaha memahami.

barangkali pernyataan "orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya" adalah diperuntukkan bagi orang-orang yang sok tahu yang tidak berdasar pada Alquran. Pak QS ahli tafsir (Al-Misbahh) dan tentu beliau sudah mempelajari ihwal ilmu tentang takdir. Dan saya, di sini sedang (berusaha) mempelajarinya--bukan belum pernah mempelajarinya, kalau begitu Anda menganggap saya bukan orang yang terpelajar. Jadi pernyataan Anda mengenai kutipan tersebut gegabah. Adikku, mohon hati-hati ketika berdakwah dan menasihati. Di sini mari kita sama-sama belajar. Perdebatan saya ini bukan memojokkan atau menjatuhkanmu Saudaraku, melainkan saling bertukar pikiran. Saya senang kau sudah menjadi orang yang punya wawasan dan pandangan terkait teks yang dibaca.


Adik : Saya tidak mengklaim kebodohan pada siapa pun. Saya hanya mendefinisikan bahwa kebodohan adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syari'at (Al Qur'an dan Al Hadits). Seseorang yang berilmu itu diukur dari sejauh pemahamannya terhadap agama. Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan imam muslim rahimahumallah, "mereka yang terbaik dalam masa jahiliah, adalah mereka yang terbaik ketika masuk islam apabila dia faqih (memahami agama)."

Boleh jadi seseorang memiliki kedudukan tinggi di pandangan masyarakat, dan dikenal sebagai orang besar. Namun apabila dia tidak memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya tersebut hanyalah akan menjadi fitnah yang dapat mencelakakannya. Lain halnya jika dia memahami agama, maka ketinggian dan kebesarannya tersebut akan menjadikannya semakin mulia; baik di mata manusia, terlebih di mata Allah subhanahu wa ta'ala.

Duhai saudaraku, ma'afkanlah jika kiranya dalam uraianku ini terdapat kekeliruan. Kita tetaplah bersaudara, walau berbeda dalam beberapa hal.
Kemudian aku ingin bertanya. Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal?

Jujur. Saya pun mengagumi sosok beliau. Hanya saja ada beberapa pendapat atau perkataan beliau yang kurang berkenan. Semoga Allah memberi petunjuk kepada kita semua dan mengampuni atas segala kekurangan kita.


Kakak : Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal? maksud saya, banyak orang yang benci kepada beliau dengan subjektif. Menjudge beliau sesat atau apa. Padahal orang-orang itu tidak membaca dan juga mengkaji pendapat dan buku beliau. Saya punya puluhan ceramah beliau, dan sangat berbobot dan tidak sembarangan. Apa yang beliau sampaikan bukan datang begitu saja, beliau juga belajar dan juga membaca.

Terkait memahami agama. Agama itu sekadar kata. Aplikasinya ya menurut pehamanannya masing-masing memaknai Alquran dan sunnah.Ya dengan cara ijtihadlah manusia mencari hakikat kebenaran.

Perbedaan pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan. Beliau saya rasa bukan sosok yang asal berpendapat. Beliau begitu tabah dan sabar dengan penilaian para ulama mengenai pendapatnya. Ini sesuatu yang patut diteladani dari sosok beliau. Jadi, ungkapan semakin tinggi pohon, semakin besar pula angin yang menimpanya itu memang benar. Beliau sedang kembali di atas angin setelah lama redup dari media. Sekali muncul, terpaan dan hujatan ke sana ke mari belingsatan. Dan beliau cukup tabah menghadapi itu. Sekait dengan beberapa perbedaan, semisal jilbab, mengucap natal, dan lain-lain, itu menjadi sesuatu yang bisa kita kaji dan renungkan kembali. Sehingga kita bisa mencari lebih banyak lagi sumber referensi dan ilmu yang sekait dengan hal demikian.


Adik : Sepertinya saudara lah yang bertumpu pada wilayah personal. Apakah menurut saudara penilaian para ulama itu tidak dengan pertimbangan?!

Adapun masalah ijtihad, itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.

Ijtihad tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam al qur'an dan al hadits atau sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.

Imam Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana pendapat anda?"
Maka beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah, lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."

Ijtihad tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi mukholafah (penyelisihan).

Para ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in yang telah berijtihad, dan dia lebih berilmu. Sehingga mereka pun mengambil ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in tsb.

Dan sungguh ungkapan yang sangat mengerikan "Perbedaan pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan."
Sungguh, orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman, dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang penting bisa dipertanggungjawabkan."

Subhanallah! Subhanallah!
Sungguh, jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.

Sesungguhnya aku berlindung kepada Allah dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak agama-Nya.
"Aku hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya pula aku kembali." (Hud : 88)


Kakak : Terima kasih atas penjelasan saudara beserta dalil dalihnya. semoga mencerahkan.