Kakak
19
Juli pukul 8:03 ·
Takdir
adalah sistem (pilihan), kau yang memilih mau jadi apa, baik atau buruk.
(Quraish Shihab)
Adik
: Sungguh celaka! Janganlah coba-coba berbicara masalah takdir sebelum
benar-benar ta'ammuq (mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar
menyimpulkan. Dalam atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling
celaka adalah orang yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah
mempelajarinya. Kemudian soal perkataan bapak quraisy syihab, maka sesungguhnya
perlu diteliti lagi, karena mengingat betapa banyak pendapat atau perkataan
beliau yang bersebrangan dengan ajaran yang sahih dari nabi sallallahu 'alaihi
wa sallam, para sahabat radiyallahu 'anhum dan para tabi'in rahimahumullah.
Kita memang dibolehkan mengambil ilmu dari mana pun sumbernya selagi itu sesuai
dengan ajaran islam. Adapun ilmu yang bersebrangan dengan ajaran islam, maka
itu bukanlah ilmu, akan tetapi kejahilan (kebodohan). Wallahu ta'ala a'lam.
Semoga Allah memberi pemahaman yang baik kepada kita dan mengampuni segala
kekeliruan dan kekhilafan kita. Innahu huwal ghafuurur rahiim.
Kakak
: Sepertinya salah sekali saya mengutip kata-kata itu dari QS, padahal bukan
sebuah kesesatan atau persoalan personal dari QS yang saya maksud dan diuraikan
di sini. pikiran-pikiran anda masih bertumpu pada wilayah personal. mari baca
penjelasan beliau dengan teliti dan penuh kesabaran. untuk persolan menguraikan
takdir, saya hanya menangkap isi dari apa yang disampaikan, bila pun keliru
(itu karena kekeliruan dan kebodohan saya yang menyimpulkan) bukan dari Pak
Quraish Shihab. Mohon dipertimbangkan lagi pendapat saudara.
"Janganlah
coba-coba berbicara masalah takdir sebelum benar-benar ta'ammuq
(mumpuni/mendalami) hal tersebut, apalagi hanya sekedar menyimpulkan. Dalam
atsar disebutkan sebuah riwayat bahwa orang yang paling celaka adalah orang
yang berbicara masalah takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya."
ukuran
orang yang mumpuni masalah takdir itu seperti apa? kalau mendengarkan kajian
beliau selama satu jam (QS), beliau sangat mumpuni dan pernyataan beliau sangat
relevan dengan Alquran. Sungguh gegabah bila Anda hanya membuat pernyataan
demikian tanpa tahu penjelasan beliau. Barangkali bila kata-kata di status itu
salah (itu bukan salah Pak QS) melainkan, kekeliruan saya. Jadi, mohon
klarifikasi lagi pendapat Saudara. Karena saya tidak mau Pak QS yang Anda
judge. Saya di sini mendengar, mencermati, dan mencoba menganalisis dari apa
yang beliau sampaikan. Bukan berarti saya coba-coba berbicara masalah takdir
(secara mendalam). Saya masihlah awam, saya sadari itu. Saya mendengarkan ini
bagian dari ilmu. Saya sedang belajar dan saya sedang berusaha memahami.
barangkali
pernyataan "orang yang paling celaka adalah orang yang berbicara masalah
takdir padahal dia belum pernah mempelajarinya" adalah diperuntukkan bagi
orang-orang yang sok tahu yang tidak berdasar pada Alquran. Pak QS ahli tafsir
(Al-Misbahh) dan tentu beliau sudah mempelajari ihwal ilmu tentang takdir. Dan
saya, di sini sedang (berusaha) mempelajarinya--bukan belum pernah
mempelajarinya, kalau begitu Anda menganggap saya bukan orang yang terpelajar.
Jadi pernyataan Anda mengenai kutipan tersebut gegabah. Adikku, mohon hati-hati
ketika berdakwah dan menasihati. Di sini mari kita sama-sama belajar.
Perdebatan saya ini bukan memojokkan atau menjatuhkanmu Saudaraku, melainkan
saling bertukar pikiran. Saya senang kau sudah menjadi orang yang punya wawasan
dan pandangan terkait teks yang dibaca.
Adik
: Saya tidak mengklaim kebodohan pada siapa pun. Saya hanya mendefinisikan
bahwa kebodohan adalah segala sesuatu yang tidak sesuai dengan syari'at (Al
Qur'an dan Al Hadits). Seseorang yang berilmu itu diukur dari sejauh
pemahamannya terhadap agama. Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam pernah
bersabda dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh imam bukhari dan imam
muslim rahimahumallah, "mereka yang terbaik dalam masa jahiliah, adalah
mereka yang terbaik ketika masuk islam apabila dia faqih (memahami
agama)."
Boleh
jadi seseorang memiliki kedudukan tinggi di pandangan masyarakat, dan dikenal
sebagai orang besar. Namun apabila dia tidak memahami agama, maka ketinggian
dan kebesarannya tersebut hanyalah akan menjadi fitnah yang dapat
mencelakakannya. Lain halnya jika dia memahami agama, maka ketinggian dan
kebesarannya tersebut akan menjadikannya semakin mulia; baik di mata manusia,
terlebih di mata Allah subhanahu wa ta'ala.
Duhai
saudaraku, ma'afkanlah jika kiranya dalam uraianku ini terdapat kekeliruan.
Kita tetaplah bersaudara, walau berbeda dalam beberapa hal.
Kemudian
aku ingin bertanya. Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal?
Jujur.
Saya pun mengagumi sosok beliau. Hanya saja ada beberapa pendapat atau
perkataan beliau yang kurang berkenan. Semoga Allah memberi petunjuk kepada
kita semua dan mengampuni atas segala kekurangan kita.
Kakak
: Apa maksudnya bertumpu pada wilayah personal? maksud saya, banyak orang yang
benci kepada beliau dengan subjektif. Menjudge beliau sesat atau apa. Padahal
orang-orang itu tidak membaca dan juga mengkaji pendapat dan buku beliau. Saya
punya puluhan ceramah beliau, dan sangat berbobot dan tidak sembarangan. Apa
yang beliau sampaikan bukan datang begitu saja, beliau juga belajar dan juga
membaca.
Terkait
memahami agama. Agama itu sekadar kata. Aplikasinya ya menurut pehamanannya
masing-masing memaknai Alquran dan sunnah.Ya dengan cara ijtihadlah manusia
mencari hakikat kebenaran.
Perbedaan
pendapat ya sah-sah saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan. Beliau saya
rasa bukan sosok yang asal berpendapat. Beliau begitu tabah dan sabar dengan
penilaian para ulama mengenai pendapatnya. Ini sesuatu yang patut diteladani
dari sosok beliau. Jadi, ungkapan semakin tinggi pohon, semakin besar pula
angin yang menimpanya itu memang benar. Beliau sedang kembali di atas angin
setelah lama redup dari media. Sekali muncul, terpaan dan hujatan ke sana ke
mari belingsatan. Dan beliau cukup tabah menghadapi itu. Sekait dengan beberapa
perbedaan, semisal jilbab, mengucap natal, dan lain-lain, itu menjadi sesuatu
yang bisa kita kaji dan renungkan kembali. Sehingga kita bisa mencari lebih
banyak lagi sumber referensi dan ilmu yang sekait dengan hal demikian.
Adik
: Sepertinya saudara lah yang bertumpu pada wilayah personal. Apakah menurut
saudara penilaian para ulama itu tidak dengan pertimbangan?!
Adapun
masalah ijtihad, itu memang diperbolehkan dalam agama islam, bahkan dibukakan
pintu seluas-luasnya. Akan tetapi ada syarat dan ketentuannya.
Ijtihad
tidak diperbolehkan pada masalah-masalah yang sudah qath'i di dalam al qur'an
dan al hadits atau sudah disepakati oleh para ulama terkemuka.
Imam
Asy Syafi'i rahimahullah pernah didatangi seseorang. Dia bertanya kepada beliau
mengenai hadits Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam dalam masalah begini
begitu (masalah yang sudah jelas dalilnya). Kemudian dia berkata, "lalu bagaimana
pendapat anda?"
Maka
beliau marah besar dan berkata, "kamu berkata tentang hadits rasulullah,
lalu berkata bagaimana pendapatku?!" dan dalam waktu lain beliau pernah
berkata, "jika kalian mendapati hadits yang shahih dari rasulullah, maka
tinggalkanlah perkataanku/pendapatku."
Ijtihad
tidak berlaku sama sekali jika bertentangan dengan dalil qath'i dan kesepakatan
para ulama, bahkan hal itu tidak dapat disebut sebagai ijtihad, tetapi
mukholafah (penyelisihan).
Para
ulama sendiri, baik dari zaman para sahabat atau zaman para tabi'in, mereka
tidak sembarangan dalam berijtihad. Bahkan diantara mereka ada yang enggan
berpendapat/berijtihad ketika mengetahui bahwa ada sahabat/tabi'in yang telah
berijtihad, dan dia lebih berilmu. Sehingga mereka pun mengambil
ijtihad/pendapat sahabat/tabi'in tsb.
Dan
sungguh ungkapan yang sangat mengerikan "Perbedaan pendapat ya sah-sah
saja selama itu bisa dipertanggungjawabkan."
Sungguh,
orang-orang shalih terdahulu justru diantara mereka ada yang melarikan diri
dari berpendapat, dikarenakan takut pertanggungjawaban. Lalu datang zaman,
dimana orang-orang dengan mudahnya berpendapat, lalu berkata, "yang
penting bisa dipertanggungjawabkan."
Subhanallah!
Subhanallah!
Sungguh,
jikalau setiap orang diperbolehkan memahami agama ini berdasar pemikiran
masing-masing, maka setiap orang akan mengadakan agama bagi dirinya sendiri.
Sesungguhnya
aku berlindung kepada Allah dari menyampaikan sesuatu yang justru merusak
agama-Nya.
"Aku
hanya bermaksud mendatangkan perbaikan selama aku masih sanggup. Dan petunjuk
yang aku ikuti hanyalah dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal dan kepada-Nya
pula aku kembali." (Hud : 88)
Kakak
: Terima kasih atas penjelasan saudara beserta dalil dalihnya. semoga
mencerahkan.