Hari itu.
“Ka, aku ingin
coba nerbitin buku,” pesanku pada kakakku yang aku kirim via sms.
“Jangan
terburu-buru nerbitin, kamu itu masih perlu banyak belajar,” balasnya.
Di hari berikutnya
ketika alhamdulillah bukuku sudah diterbitkan. Selfpublising.
“Ka, bukuku
sudah terbit,” smsku padanya.
“Coba kirimkan
ke rumah. Aku ingin lihat karyamu,” balasnya.
Beberapa hari
kemudian.
“Buku sudah
sampai. Bukunya bagus, tapi penulisan dalam buku masih banyak yang perlu
dikoreksi; seperti tanda (,), (.), (!), dan sebagainya,” smsnya padaku.
“Melihat bukumu,
aku jadi ingin nerbitin karyaku juga,” lanjutnya.
“Alhamdulillah
kalau begitu,” balasku singkat.
Dan di hari yang
lain.
“Aku ingin
bertanya. Sebenarnya apa yang mendorongmu untuk menerbitkan buku?” tanya kakakku.
“Alhamdulillah,
aku hanya memanfa’atkan peluang dan kesempatan,” jawabku.
“Kamu itu anak
baru kemarin sore, masih harus banyak belajar menulis dan banyak membaca.
Penulis yang baik adalah pembaca yang baik. Nampak dari tulisanmu di bukumu
ini, bahwa kamu belum banyak membaca. Aku juga punya karya, tapi tidak terburu-buru
sepertimu,” paparnya sedikit mengerenyitkan jidatku.
“Subhanallah, sungguh
tidak ada yang menjamin bahwa aku akan tetap hidup esok hari. Aku bilang, aku
hanya memanfa’atkan peluang dan kesempatan. Aku diberi kelapangan oleh-Nya
untuk menyusun buku, yang kemudian alhamdulillah atas pertolongan-Nya bukuku
pun terbit. Sehingga sekiranya esok aku mati, maka aku tidak mati sia-sia. Aku
meninggalkan karya; untukmu, untuk adik-adik, dan untuk kaum muslimin,”
terangku dengan dada yang bergemuruh.
“Sungguh, semoga
aku tidak sombong bahwa apa-apa yang aku baca adalah lebih baik daripada apa-apa
yang kamu baca, hanya saja aku memang bukanlah seorang penulis asli sepertimu,
bukanlah pula seorang sastrawan sepertimu. Kamu adalah kamu dan aku adalah aku,”
terangku selanjutnya.
“Ya, aku
mengerti,” jawabnya singkat.
Dan ahirnya hari
ini.
“Sekaranglah
waktunya. Sekarang adalah waktu yang tepat,” komentarku pada gambar cover
bukunya yang dia updet di facebook. Ahirnya, kakakku memang lebih baik dariku. Dia
pun menerbitkan karyanya.
Kakakku.
Mungkin engkau
lebih baik dariku.
Aku bukanlah
dirimu. Bukanlah sepertimu.
Tapi sungguh,
aku yakin bahwa engkau selalu mendukungku.
Dan aku?
Sungguh, aku lebih
sangat mendukungmu.
Semoga Allah
selalu membersamai kita dalam kebaikan hidup di dunia dan di akhirat.