Aku adalah perahu di tengah
lautan.
Tiada ombak. Tenang. Damai.
Hanya saja, sengatan mentari tak jarang bikin aku gerah. Panas. Terbakar.
Aku ingin berlabuh di satu pulau. Kelihatannya dekat. Tapi, ketika aku dekati, malah semakin menjelaskan bahwa pulau itu masih jauh.
Tiada ombak. Tenang. Damai.
Hanya saja, sengatan mentari tak jarang bikin aku gerah. Panas. Terbakar.
Aku ingin berlabuh di satu pulau. Kelihatannya dekat. Tapi, ketika aku dekati, malah semakin menjelaskan bahwa pulau itu masih jauh.
Di siang hari, aku cukup bersabar
menahan sengatan terik mentari yang semakin menjadi.
Di malam hari, walau terasa adem dan sepoinya angin, tapi tak jarang aku disibukkan oleh kehawatiran. Jangan-jangan akan ada badai yang menyesatkanku dan membawaku semakin jauh dari pulau yang aku tuju.
Di malam hari, walau terasa adem dan sepoinya angin, tapi tak jarang aku disibukkan oleh kehawatiran. Jangan-jangan akan ada badai yang menyesatkanku dan membawaku semakin jauh dari pulau yang aku tuju.
Dan sampai sekarang, aku masih
bertanya-tanya.
Sejak kapan aku di tengah laut? Siapa yang menyelosorkanku sampai ke tengah ini?
Jika dibolehkan, aku ingin menyelam tenggelam saja.
Tapi bodoh, aku baru tahu kalo aku adalah perahu kayu yang terapung.
Aku tak boleh rusak, harus selalu berbentuk.
Sebab, jika aku rusak, rusakku akan tampak.
Menjadi acak-acak kayu di tengah laut.
Sejak kapan aku di tengah laut? Siapa yang menyelosorkanku sampai ke tengah ini?
Jika dibolehkan, aku ingin menyelam tenggelam saja.
Tapi bodoh, aku baru tahu kalo aku adalah perahu kayu yang terapung.
Aku tak boleh rusak, harus selalu berbentuk.
Sebab, jika aku rusak, rusakku akan tampak.
Menjadi acak-acak kayu di tengah laut.
Aduhai, aku perahu.
Perahu kayu yang terapung.
Perahu kayu yang terapung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar