oleh : Abdul 'Aziz
Aku duduk sambil
tersungut di pojok beranda masjid. Hatiku geram. Sesekali gemerutuk gigi-gigi
geraham yang bertubrukan menggoyang-goyang pipiku. Hembusan nafas antara putus
asa dan rasa marah kulempar berulangkali. Kalau saja bukan karena di masjid,
ingin segera kutumpahkan segala caci maki dan kejengkelanku sampai aku puas.
Puas menumpahkan emosi kepada siapa yang telah menzalimi diriku.
Pandanganku
menyapu tangga masjid tua itu sekali lagi. Dari satu pojok ke pojok yang lain. Dari satu tangga ke
tangga yang lain. Bahkan rak sepatu dan sandal di sisi tempat penitipan barang
telah aku periksa berungkali. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya aku menerima
kehilangan itu dengan terpaksa. Terpaksa menahan marah, jengkel, kecewa di
”Rumah” Tuhan. Terpaksa pula kehilangan kesabaran karena dizalimi di ”Rumah”
Tuhan.
Tiba-tiba entah
dari mana datangnya, seorang kakek tua berjubah putih telah duduk persis di
samping kananku. Aku setengah takjub. Belum hilang rasa jengkelku karena
kecurian, kedatangan pria yang seolah misterius ini menambah kalut mesin
beripikir di kepalaku. Meskipun begitu, sejenak aku terhibur. Ia tersenyum amat
berwibawa. Wajahnya berseri. Janggutnya yang lebat rapih menyihirku. Ia
menatapku dalam menghujam.
”Apa yang Engkau
risaukan, anak muda?”, sapanya. Suaranya khas sekali. Berat dan kharismatik.
”Bapak, siapa?”,
kujawab sapaannya dengan balik bertanya.
”Sama seperti
kamu, anak muda. Hamba Tuhan. Mengapa wajahmu kelihatan marah dan tertekan?”,
ia kembali bertanya tentang perasaanku.
”Saya kehilangan
sandal. Sandal seharga duaratus limapuluh ribu. Baru saya pakai sakali ini”,
jawab saya datar tidak seperti lahar kejengkelan yang membara sebelum bertemu
laki-laki sepuh ini.
”Cuma sandal?”,
ia balik bertanya mendengara jawaban saya.
”Ya, memang cuma
sandal. Tapi harganya cukup mahal”, kilahku.
”Duaratus
limapuluh ribu, itu harga yang murah. Belum sebanding”, kali ini pernyataannya
lebih ditekan. Perasaanku ikut tertekan.
Sejurus, lelaki
sepuh berjubah putih itu berdiri. Tangannya diulurkan ke arahku. Anggukan
kepalnya memberi isyarat, agar aku mengikuti langkahnya. Aku menurut saja.
”Mari saya
carikan obat”.
Obat? Aku tak
butuh obat pikirku. Kalaupun yang kubutuhkan sekarang adalah sandalku kembali.
Aku juga butuh tahu siapa orang yang telah mencurinya. Kalau perlu aku akan
menghajarnya karena telah mengambil milik orang yang bukan haknya.
Aku terus
mengikutinya hingga sampai di suatu tempat yang mirip pasar tradisional tapi
lengang. Aku dibawanya mampir ke sebuah toko. Susana di sekitar toko itu pun
sepi. Hanya ada satu dua orang saja yang melintas dan melihat-lihat barang yang
dijual. Kesepiannya mengantarku seperti tengah berada di negeri asing. Suasana
dan orang-orang yang kujumpai asing. Orang yang mengajakku pun asing. Lalu, Aku
ditunjukkan pada pemilik toko yang juga asing. Aku kemudian tahu, ia menjual
sepatu dan sandal-sandal bekas.
”Anak muda,
singgahlah sebentar dan tumpahkan kekesalanmu pada pemilik toko ini.
Mudah-mudahan hatimu ridha atas sandalmu. Sandalmu belum sebanding”. Aku belum
tetap mengerti maksud ucapan ”belum sabanding” lelaki sepuh itu. Aku ingin
menanyakannya, tetapi ia keburu menghilang. Entah kemana.
Tapak kakiku
terasa panasperih. Kerikil dan tanah kering yang terbakar terik matahari,
leluasa menusuk-nusuk hingga ke ujung jari kakiku yang tak lagi bersandal.
Kakiku tersiksa oleh keculasan si pencuri. Dia telah memecah-mecah tumitnya
hingga menyisakan garis-garis hitam. Jelek dan kusam. Yang kumaki kini bukan
lagi si pencuri sandal, tapi juga kuratapi nasib kedua kakiku.
Kuhampiri lebih
dekat toko itu. Lebih dekat, kulihat sosok laki-laki bersurban duduk bersila di
atas dipan. Gamisnya menutup tubuhnya hingga kedua kakinyapun tersembunyi.
Melihat kedatanganku dan mendekat, laki-laki itu tersenyum dan menyambut
hangat. Tapi sedikitpun ia tidak bergeser dari duduknya. Hanya mempersilahkan
aku melihat-lihat barang bekasnya.
”Silahkan anak
muda. Barangkali ada yang berkenan di hatimu”, laki-laki itu menyapa dan
menawarkan dagangannya. Aku merasa ada baiknya memilih sepasang.
” Terima kasih.
Kalau bukan karena pencuri sialan itu, mungkin saya tidak akan sampai di sini”.
Aku mulai memaki lagi nasib buruk beberapa saat lalu. Tanpa terasa keluhan atas
semua kesialanku tertumpah. Kumaki habis pencuri sandal mahalku itu seolah ia
tepat di depanku. Suaraku geram, mataku jalang dan lidah kemarahanku
menyambar-nyambar dinding caci maki dan menumpahkannya sebanyak mungkin sampai
aku capek sendiri.
”Inna lillahi wa
innaa ilaihi rooji’uun. Sebegitu marah dan kecewanyakah Engkau anak muda?”,
tiba-tiba laki-laki pemilik toko itu bicara. Segera Aku sepenuhnya sadar, bahwa
pemilik toko itu menangkap semua emosi yang kutumpahkan. Umpat, caci maki dan
seribu kata keji mungkin ia tangkap pula seluruhnya. Menatap matanya, aku malu.
Mendengar responnya, aku membisu.
”Marah dan
kata-kata kasarmu tidak sebanding dengan sandalmu yang dicuri. Jika si pencuri
itu hadir di matamu, luka hatinya atas cacianmu tidak sepadan dengan luka memar
di kakimu itu. Padahal kamu belum tahu alasan mengapa ia mencuri”, pemilik toko
itu menghujam ulu hatiku dengan ucapannya yang tajam lagi datar. Aku
terperangah dengan muka memerah. Kini aku jadi bulan-bulanan atas mulutku
sendiri.
Laki-laki itu
melanjutkan, ” padahal bisa jadi ia mencuri karena terpaksa, bukan semata-mata
karena kebiasaannya mencuri. Mungkin karena lapar, anak dan isterinya juga
kelaparan atau karena satu dan lain hal sehingga memaksanya mengambil milik
orang lain”.
”Tapi, mungkin
juga karena memang orang itu terbiasa mencuri, bukan? Bahkan dilakukannya di
masjid, Rumah Tuhan”, Aku mencoba membela diri.
”Mungkin juga.
Bahkan karena nekatnya, di masjid pun ia lakukan. Namun, sikapmu menerima
situasi demikian tidak pantas Anak Muda. Caci dan makianmu tidak mengembalikan
sandalmu yang hilang, sementara mulutmu telah tidak sadar kau kotori dengan
dosa oleh cacianmu itu”.
Ulu hatiku
semakin sakit. Aku yang tengah dirundung sial terus terpojok. Aku membatin.
Tapi, kata-kata penjaga toko itu perlahan mempengaruhi kesadaranku. Ego dan
amarahku hampir redup disiram bijak kata-katanya, meskipun letupan-letupan
dendam kesumat kecil masih timbul tenggelam di ujung nafsu amarah.
”Sandal itu
cukup mahal bagi saya. Dua ratus lima
puluh ribu hampir seperdelapan dari gaji saya setiap bulan untuk harganya. Lagi
pula, baru sekali ini saya pakai. Wajar kan
jika saya kecewa dan marah?”, Aku masih mencoba bertahan di antara sisa-sisa
ke-Aku-an yang kian padam.
Laki-laki
pemilik toko itu hanya tersenyum mendengar pembelaanku. Kepalanya
menggeleng-geleng ritmis. Alisnya yang bertaut bergerak ke atas mengikuti gerak
tubuhnya yang bergeser mendekati tepi dipan.
“ Engkau masih
beruntung, Anak muda. Karena cuma sandalmu yang hilang. Harga dirimu tidak
koyak, rasa malumu tetap terjaga dan kepercayaan dirimu masih utuh. Kamu masih
patut bersyukur sebab masih dapat berjalan tegak meskipun tanpa sandal. Kamu
tidak pantas menjadi laki-laki rapuh dihantam marah hanya karena kehilangan
harga dua ratus lima
puluh ribu saja. Lihatlah keadaanku”.
Laki-laki itu
menyingkap ujung bawah gamisnya. Aku terkesiap. Ya Tuhan, dua kakinya buntung
sebatas pergelangan. Aku merinding disergap ngeri. Tenggorokanku kering
kerontang seketika. Inikah arti dari ucapan ”belum sebanding” orang sepuh
beberapa saat lalu?
”Aku kehilangan
dua pergelangan kaki, Anak muda. Aku juga tidak tahu berapa harga kedua kaki
itu. Yang kuingat bahwa kecelakaan kerja yang kualami lima tahun lalu merenggut keduanya. Aku masih
bersyukur nyawaku selamat. Allah masih menyayangiku. Lagi pula Aku tidak pernah
membayar untuk sepasang kaki itu. Gratis. Kecelakaan itu adalah sunnatullah
bahwa Yang Maha Memberi, meminta kaki yang dititipkan padaku dikembalikan
pada-Nya. Kamu masih lebih beruntung berlipat-lipat. Allah hanya meminta
sandalmu, bukan kakimu. Lihatlah, kakimu masih menapak dengan jemarinya yang
masih utuh”.
Aku membatu
dalam kebisuan. Hancur lebur sudah kemarahan yang sejak tadi kumanjakan.
Gemuruh dadaku berubah warna dari merah membara menjadi putih kebiruan. Sejuk,
lumer dan dan akhirnya kerdil.
” Anak muda,
jangan pernah berpikir absolut bahwa apa yang selama ini kita genggam adalah
milik kita. Semua hal yang Kau pandang sebagai kekayaan, apapun wujudnya,
hakikatnya hanya titipan. Manusia hanya sebatas diberi hak untuk memanfaatkan
dalam kebaikan. Bukan memiliki sekehendak hati, apalagi dengan membabi buta
seperti orang yang lupa bahwa dunai ini pun akan ditinggalkannya. Kalau hanya sekedar
sandal saja Engkau sudah begitu takabur, bagaimana dengan kehidupanmu yang
kelak juga akan diambil-Nya?”.
Habis sudah
diriku. Habis sudah egoku. Air hangat meleleh dari kedua kelopak mataku. Dadaku
sesak oleh luapan tangis yang kutahan sedapat mungkin. Tagi guncangannya tak
kuat kutahan. Sampai kemudian aku sadar sesadar sadarnya.
”Ayah, bangun
Yah, sudah jam empat”.
Antara jaga dan
tidur aku merasakan sentuhan lembut di pundaku. Suara yang amat kukenal
membangunkanku dari selimut malam dan menghentikan dengkurnya. Aku bangun
dengan kelopak mata yang basah. Aku menangis dalam tidur, tapi air mata dan
penggalan mimpi terbawa di alam jaga. Aku benar-benar hanyut. Jauh, jauh
sekali. Ya Allah mimpi apa itu? Apakah Engkau tengah menegurku sebab beberapa minggu
lalu Aku sempat mengeluh lama karena kehilangan telepon genggam untuk yang
kedua kali?
Alhamdulillah,
Aku masih hidup dan masih diberi kesempatan menghirup udara pagi. Ya Allah,
rizki yang kau beri memang datang dan pergi silih berganti. Ampuni Aku Ya Rabb.