Bag. 1
Hidup
memang tidak akan pernah lepas dari yang namanya cinta. Setiap orang membawa
kisah cinta berbeda di dalam kehidupan dunia ini. Tidak pernah ada yang sama,
bahkan dua orang yang terlahir kembar. Kisah cinta mereka sedikit pun tidak
sama. Boleh jadi yang satu berbahagia dengan kekasihnya, boleh jadi yang satu
menderita keperihan. Karena ternyata kekasih yang bersama saudara kembarnya
adalah seorang yang dia cintai. Sungguh tragis.
Dan
berikut adalah kisah cinta yang mengharu biru antara dua insan, yang jikalau
kisah cinta ini di dongengkan kepada langit, maka selamanya langit akan
menurunkan hujan. Tidak pernah berhenti.
Abdul
Mu’min. Ya, itu-lah nama sang lelaki yang sedang merasakan manisnya kasmaran
kepada seorang gadis yang bernama Laila. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam
hatinya. Ia jatuh cinta kepada Laila seorang gadis cantik yang sudah lama ia
kenal.
Selama
mencintai Laila, sedikit pun dia tidak pernah berbicara mengutarakan perasaan
cintanya. Apalagi untuk mengutarakan, untuk sekedar memandangnya saja dia tidak
berani. Sampai pada ahirnya terdengar kabar bahwa Laila pun mencintainya.
Sungguh bukan main, betapa bahagia dirinya. Dia benar-benar merasa terbang di
angkasa yang luas, menikmati kesejukan udara yang membelai seluruh tubuhnya. Cintanya
ternyata bersambut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.
Ya,
memang wajar jika Laila mencintai Abdul Mu’min. Bahkan wajar jika setiap wanita
di jagat raya ini mencintai Abdul Mu’min. Seorang lelaki yang terkenal dengan kepribadiannya
yang santun, lembut dan ramah. Tidak hanya itu. Dia ternyata seorang Imam
sholat di masjid kampusnya. Dia memiliki suara yang sangat indah. Lantunan
tilawahnya begitu merdu mendayu. Siapa pun yang menjadi makmum di belakangnya,
maka selamanya ia tidak ingin ruku’. Tilawahnya yang menawan, menjadikan para
makmum betah berdiri di dalam barisan sholat.
Dan
suatu hari di waktu Maghrib, Laila menyempatkan diri ikut sholat berjama’ah di
masjid kampus. Sebelumnya dia tidak pernah tahu, kalau ternyata orang yang
menjadi Imam sholat adalah lelaki yang dicintainya, Abdul Mu’min. Sehingga
ketika dia melihat Abdul Mu’min berjalan menuju mihrab dan iqamat
dikumandangkan, hatinya berdegup kencang. Padahal jarak barisan sholat kaum
wanita jauh 10 meter dari barisan sholat kaum lelaki, dan itu pun ditambah sater
(kain penutup). Laila merasa seakan-akan dia berdiri dekat di belakang Abdul
Mu’min. Dia merasa bahwa hanya ada dia dan Abdul Mu’min yang sedang menjalankan
ibadah sholat di masjid. Tilawah sang Imam terdengar syahdu, masuk ke relung
hati. Maka semenjak saat itu, Laila pun benar-benar bertambah kagum dan cinta
kepada Abdul Mu’min.
Seiring
berjalannya waktu. Cinta keduanya bertumbuh dan berkembang. Abdul Mu’min
langsung mengambil sikap dan memutuskan untuk melamar Laila. Dia mengirim surat
kepada Laila.
“Laila,
tidaklah bagus kiranya jika hal ini terus terjadi. Aku tidak sanggup
mencintaimu dalam keadaan diam seperti ini. Aku ingin mencintaimu lebih dari
sekedar diam. Aku ingin mencintaimu seperti angin yang berhembus, membelai
dahan-dahan pohon, menggugurkan daun-daun yang kering. Aku akan melamarmu.”
Dan
Laila pun membalas,
“Semoga
Allah mempermudahmu dalam urusan yang engkau kehendaki. Sungguh aku sangat
hawatir jikalau kedua orang tuaku tidak merestui.”
Abdul
Mu’min tidak terlalu menghiraukan kalimat ahir dari isi surat itu. Dia sudah
bertekad bulat untuk melamar Laila. Urusan direstui atau tidak, itu adalah
belakangan. Dia sudah benar-benar siap menerima segala kenyataan yang akan
terjadi.
Dan
benar saja. Sesuatu yang dihawatirkan Laila pun terjadi. Kedua orang tua Laila
tidak menanggapi lamaran Abdul Mu’min. Kedua orang tuanya menolak, karena
ternyata Laila sudah dijodohkan dengan lelaki lain. Laila sendiri pun baru
mengetahui hal tersebut, setelah mendengar pembicaraan antara kedua orang
tuanya dengan Abdul Mu’min. Laila bersedih, apalagi Abdul Mu’min yang merasa
dihianati. Dia sangat bersedih dan bergumam dalam hati, “Laila menyembunyikan
pisau tajam, lalu menusukkannya kepadaku. Luka macam apa ini? sungguh perih.”
Semenjak
penolakan lamaran itu, Abdul Mu’min memutuskan untuk pergi meninggalkan
kampusnya. Dia pergi keluar kota. Abdul Mu’min merasa tidak sanggup menahan
perih lukanya. Cintanya yang membara dipaksa untuk padam. Sungguh hal yang mustahil.
Dan
di sisi lain, Laila merasa sangat geram terhadap keputusan kedua orang tuanya.
Padahal Abdul Mu’min adalah seorang pemuda tampan yang tidak diragukan lagi
kesholihannya. Namun tetap saja kedua orang tuanya lebih menitik beratkan
nasab. Ya, Abdul Mu’min memang bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga
yang bernasab terpandang. Tapi siapa yang mengira bahwa kedudukan Abdul Mu’min
di sisi Allah jauh lebih terpandang dan mulia daripada para raja dunia
seluruhnya. Tidak ada kedudukan yang paling mulia, melainkan di saat seorang
hamba berada dalam kesholihan dan keta’atan kepada Rabbnya.
Setiap
hari Laila dirundung kesedihan yang mendalam, ditambah rasa bersalahnya yang
terus menghantui. Dia terus bergumam lirih, “Ma’afkan aku ab (panggilan Abdul
Mu’min), aku pun tidak tahu jikalau aku sudah dijodohkan. Sungguh aku merasa
perih. Kamu telah pergi, pergi, dan pergi. Tapi aku yakin, bahwa cinta ini akan
membawamu kembali, walau mungkin hanya untuk sebentar saja.”
Laila
menangis sedu, mata sembab, “Yaa Allaah…”, teriaknya lalu tergeletak di atas
kasur. Ia tertidur.
########
Bag. 2
Di
kampus, Laila seperti bunga layu yang ditinggal mentari. Tidak ada keindahan
yang terlihat darinya, tidak ada lagi keanggunan yang nampak darinya. Gadis
cantik yang kini ditinggal pergi oleh seorang lelaki yang sangat dicintainya.
Laila hancur. Hari-harinya berubah kelam. Pekat.
Dan
di malam hari, di atas sajadahnya Laila menghabiskan waktu untuk bermunajat di
hadapan Rabbul ‘Alamin. Dia memohon dan terus berdo’a. Dia menyerahkan segala
urusannya hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa.
“Yaa
Allaah, aku jatuh cinta kepada salah seorang hambaMu yang mana Engkau lebih
mengetahui tentangNya. Dia adalah hambaMu yang sholih sepanjang yang hamba
ketahui, dan sepanjang yang hamba dengar dari penuturan orang-orang. Jika
memang benar adanya cinta hamba kepadanya ini karenaMu, maka mohon izinkanlah
hamba untuk menjadi kekasih halalnya, walau untuk sebentar saja. Hamba mohon
yaa Rabb.. mohon dengan sangat. Cinta ini datang dariMu, maka hamba kembalikan,
hamba titipkan, dan hamba sandarkan hanya kepadaMu agar Engkau memberkahinya,
lalu Engkau hantarkan cinta itu kepada dia yang hamba cinta. Abdul Mu’min.
Pergerakkanlah kakiNya yaa Rabb, agar dia datang menjumpai bidadarinya ini yang
sedang keperihan menantinya.”
Dia
melakukan hal tersebut hampir di sepanjang malam di setiap harinya. Sehingga
kondisi fisiknya melemah, dan ahirnya dia jatuh sakit. Parah. Matanya lebam
akibat kurang tidur. Tubuhnya panas-dingin. Kadang ia menggigil seperti orang yang
kedinginan dan kadang ia menggeliat seperti orang yang kepanasan.
Mengetahui
kondisi Laila yang demikian, kedua orang tuanya langsung bergegas membawanya ke
rumah sakit. Laila harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Sampai
sembuh atau sampai bagaimana Allah berkehendak (ilaa masyaa Allaah).
“Ayah,
bagaimana ini? Laila sakit apa?,” tanya ibu.
“Entahlah,
tunggu kabar dari dokter saja,” jawab ayah.
Keduanya
tampak begitu cemas dan hawatir terhadap keadaan Laila. Apalagi Laila adalah
anak semata wayang yang mereka miliki. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi
menimpanya.
Dua
tiga hari berlalu dan Laila masih terbaring lemas. Dia sadar, tapi pikirannya
pudar. Matanya terbuka, tapi hatinya berkelana.
“Abdul
Mu’min,” lirih bibirnya menyebut nama itu. Lalu ia menangis. Air matanya
berlinang deras membasahi pipi. Ia sesenggukan.
“Aaaaaabbb,”
tiba-tiba teriaknya keras, sehingga mengagetkan kedua orang tuanya yang sedang
duduk di balik pintu ruang perawatan.
Spontan
kedua orang tuanya bergegas masuk ke dalam.
“Laila,
ada apa?,” tanya ibu dan ayahnya.
Laila
diam saja. Ia hanya menangis dan sesenggukan.
“Laila,
kamu jangan bikin ibu dan bapak hawatir nak,” tutur ibunya lembut.
Laila
tetap diam. Seakan tidak mendengar suara apa pun. Matanya kosong memandang ke
luar jendela.
“Dia
akan kembali,” bisiknya.
Ayah
dan ibu laila semakin tidak mengerti dengan keadaan puterinya. Tiba-tiba ia
berucap, “dia akan kembali”. Siapa dia yang dimaksud?. Kedua orang tuanya
berpikir mencoba memahami maksud ucapan puterinya “dia akan kembali”.
“Abdul
mu’min!, iya, abdul mu’min,” ucap ibu.
“Sudahlah
bu, jangan ungkit lagi lelaki itu, hawatir laila mendengar,” kata ayah.
“Tidak
ayah, justru ini ada kaitannya dengan Abdul mu’min. Ibu adalah wanita. Sangat
mengerti bagaimana perasaan wanita,” jelas ibu. “Kita harus mendatangkan abdul
mu’min kesini. Ibu tidak mau terjadi apa-apa sama laila, apalagi sampai
mengganggu kejiwaannya,” lanjut ibu.
“Terserah
ibu sajalah, silahkan ibu yang mengurus hal itu,” ucap ayah sekilas berlalu
keluar.
“Halo,
assalamu’alaikum.. abdul mu’min?!,” ibu memanggil dari balik handpone.
“Wa’alaikumussalam
warohmatullah.. iya benar. ini dengan siapa?,” tanya abdul mu’min.
“Ini
ibu laila, bagaimana kabarmu nak?,” tanya ibu.
“Alhamdulillah
bu, aku baik-baik saja. Ibu bagaimana,” abdul mu’min balik bertanya.
“Alhamdulillah
ibu juga baik, tapi..,” ibu terhenti dari bicaranya.
“Tapi?
Tapi kenapa bu?,” tanya abdul mu’min penasaran. Mulailah timbul firasat di
kepalanya. Laila?.
“Laila
di rumah sakit nak, sudah hampir seminggu ini dia dirawat. Dia sering berucap,
‘dia akan kembali, dia akan kembali’. Ibu yakin, bahwa kamu-lah yang dimaksud
laila,” papar ibu kepada abdul mu’min. “Kemarilah nak, temui laila,” lanjut ibu
seraya memohon.
Abdul
mu’min tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung berangkat pulang, kembali ke
kotanya untuk menemui laila. Padahal sebenarnya dia sedang disibukkan oleh
banyak pekerjaan dan tugas-tugas. Tapi untuk laila. Semuanya itu diabaikan.
Abdul mu’min memang sudah kepalang rindu pada laila. Hampir setiap malam dia
memikirkan bagaimana supaya bisa berjumpa dengan laila. Ingin menghubungi nomor
handponnya, tapi abdul mu’min merasa takut dan malu. Ya, takut dan malu kepada
Allah. Karena laila bukanlah wanita halal baginya. “Sungguh binasalah aku!”,
ucapnya disuatu malam. Air matanya meleleh membasahi pipinya. “Ya Allah,
ampunilah aku!,” lirihnya seraya merundukkan kepala.
########
Bag.3
Disepanjang
jalan. Abdul mu’min tampak begitu cemas. Ia tidak tenang. Semakin jarak
mendekat. Semakin ia tegang. Ia kehilangan konsentrasi mengendarai motornya. Dubrakkkkkk…!
Tiba-tiba sebuah mobil besar menabraknya. Ia terlempar jauh.
“Aaaaabbb!,”
teriak laila di ruang perawatan. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi.
Laila
melihat jam dinding. Tepat pukul 2 pagi. Ia menangis. Air matanya deras
mengalir. Terbayang hal yang buruk menimpa abdul mu’min.
“Ab,
aku sangat mencintaimu. Aku ingin halal bersamamu walau hanya 5 menit. Aku ingin
dipelukmu. Aku ingin keningku dicium olehmu. Aku ingin menyatukan jemariku
dengan jemarimu,” lirih laila dengan deraian air mata yang terus mengalir.
Laila
menyingkap tirai jendela. Langit masih tampak begitu gelap. Tiada keramaian sinar
gemintang. Tiada keceriaan cahaya rembulan. Gelap. Pekat. Gulita. Persis menggambarkan
suasana hatinya. Saat itu, laila belum mengetahui perihal kepulangan abdul mu’min
untuk menemuinya. Ya, menemuinya. Sebab, sang ibu merahasiakan hal itu.
Laila
tampak begitu kosong. Ia seperti kehilangan harapan. Cintanya membuncah. Rindunya
merantah. Pikirannya gelap. Matanya pudar. Tangannya menggerayang mencari sesuatu.
Dapat. Pisau.
“Lebih
baik aku mati saja,” ucapnya.
Benar
saja. Ia mulai mengiriskan pisau di pergelangan tangannya. Tapi agak ragu. Mulai
berpikir lagi.
“Bodoh!,
apa ini?,” ucap laila seraya melemparkan pisau ke tempat sampah. Dia mengurungkan
niatnya. Lalu tidur. Memejamkan mata. Lelap.
########
Bag. 4
“Alhamdulillaah, untunglah aku selamat,” ucap abdul mu’min dengan
hati yang berdebar-debar.
Abdul mu’min selamat, tapi motornya tiada rupa. Hancur. Penyok.
Tidak layak pakai. Untunglah sopir mobil truk yang menabraknya baik hati. Ia
bertanggung jawab. Benar-benar lelaki.
“Aduh! ma’af pak. Mata saya kabur. Saya tidak begitu jelas melihat
arah depan,” tutur sang sopir, yang ternyata dia masih lebih muda daripada
abdul mu’min. Ia gemetar. Takut. Risau. “Pak, jangan laporkan saya ke polisi
yah,” lanjutnya memelas.
Abdul mu’min tersenyum. Dia tampak begitu tenang. Seakan
mengabaikan keadaan motornya.
“Alhamdulillaah, tenang saja pak. Ketidaksengajaan itu lebih berhak
untuk dimaklumi dan dimaafkan. Saya tidak marah dan tidak akan melapor ke
polisi. Lagi pula saya selamat. Alhamdulillaah,” begitu lembutnya abdul mu’min.
“Silahkan pak, kalo mau berangkat lagi. Barangkali bapak membawa barang atau
amanah yang harus segera dihantar,” lanjutnya seraya mengarahkan pak sopir ke
arah mobilnya. Sengaja agar pak sopir tidak melihat keadaan motornya yang
sekarat.
“Terimakasih pak, saya memang betul-betul tidak sengaja,” ucap pak
sopir seraya menyalami tangan abdul mu’min. Lalu ia pergi berlalu dengan mobil
truknya.
Kini, abdul mu’min bingung. Jalanan sepi. Waktu masih pekat malam.
Motornya hancur. Penyok. Lampu depannya pecah. Pelek bannya bengkok. Pejakan
gigi motornya entah nyeliep kemana?. Tapi untunglah masih bisa diseret.
Sekitar 500 meter ke depan ada masjid. Ya, masjid. Abdul mu’min
berencana menitipkan motornya disana. Tapi harus menyeret sejauh 500 meter.
Jika dilihat-lihat, dia tampak seperti maling. Berjalan di malam pekat.
Menyeret-nyeret motor. “Maliiiiiinggggg…!” untunglah tidak ada orang yang
berteriak demikian.
“Alhamdulillaah, sampai juga,” abdul mu’min sampai di muka gerbang
masjid. Dilihatnya tiada orang. Dia masuk bersama motor penyoknya.
Sedari tadi, abdul mu’min terlihat begitu tenang. Seakan tidak ada
masalah yang menimpanya. Padahal dia baru saja ditimpa kecelakaan. Motornya
penyok. Perjalanan pulangnya menuju laila tertunda. Ditambah jarak yang masih
jauh. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru sampai.
“Yaa Allaah, sungguh begitu nikmat terasa urusanMu. Engkau
perdengarkan kabar duka tentang laila. Lalu Engkau menghendaki hamba untuk
menemuinya. Dan di tengah jalan, Engkau timpakkan musibah ini. Apatah lagi jika
bukan ikhlas dan sabar sebagai sikap yang paling tepat?,” lirih abdul mu’min
seraya memandang langit.
Sedikit demi sedikit air matanya meleleh.
“Yaa Allaah, peluklah sejenak tubuh ringkih ini, bismillaah,” abdul mu’min merebahkan tubuhnya. Ia lelah. Dan terpejam.
Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! adzan subuh terkumandang. Abdul
mu’min pun bangun.
“Alhamdulillaah, sudah masuk waktu pagi,” bisiknya.
Dia beranjak dari rebahannya. Menuju tempat wudhu. Ia berwhudu dan
kemudian memasuki masjid dan sholat sunnah qabliyah 2 roka’at.
Selesai sholat sunnah, iqamat belum juga dikumandangkan. Ia menoleh
ke-kanan ke-kiri. Melihat jama’ah yang sudah berkumpul.
“Pak, tidakkah sholat segera dimulai?” tanyanya pada seorang bapak
muadzin yang nampak sudah begitu tua.
“Adek bisa menjadi imam. Qadarullaah, petugas imam masjid ini
sedang sakit. Jika bapak yang menjadi imam, hawatir suaranya habis,” tutur
bapak muadzin seraya memberikan penawaran.
“Silahkan!” tambahnya lagi mempersilahkan abdul mu’min.
“Alhamdulillaah, terimakasih pak. Tapi saya pakai celana, hawatir
menyelisihi adat disini,” ucap abdul mu’min.
“Tidak apa dek. Ayo silahkan,” bapak muadzin mempersilahkan dan
sekilas mengumandangkan iqamatnya.
Selesai sholat.
“Subhanallaah, lantunan tilawah adek begitu merdu,” ucap bapak
muadzin memuji abdul mu’min.
“Alhamdulillaah, terimakasih pak,” jawabnya singkat. “Oh iya pak,
boleh saya nitip motor saya di masjid ini?” lanjutnya.
“Insyaallah boleh, dimana motornya,” tanya bapak muadzin.
Setelah ditunjukkan ke arah motornya, bapak muadzin tersebut kaget.
“Inna lillaah, kenapa penyok-hancur begini?,” tanya bapak muadzin.
Abdul mu’min hanya tersenyum. Tidak memberikan penjelasan apa pun.
Lalu sejenak dia teringat sesuatu. Laila.
“Astaghfirullaah, laila,” ucapnya seraya bergegas pergi berlari
menuju jalan raya. “Pak nitip yah,” teriaknya sambil menoleh ke belakang.
“Ya insyaallah,” jawab bapak muadzin. “Pemuda aneh,” bisiknya.
“Astaghfirullaah, jangan-jangan! ini barang curian?!” pikir bapak
muadzin seraya meneplok jidatnya. Tapi abdul mu’min keburu masuk ke dalam bus. Berangkat. Hilang ditelan kejauhan.
########