Krining, krining,
krining, telpon perpustakaan berbunyi mengagetkanku yang sedang melamun. “Halo!
Nzhat?”, seseorang menyapa dari balik telpon. “Iya!”, jawabku. “Anterin saya ke
Stasiun Jakarta Kota yuk!”, oh ternyata suara mas faizin. “Oke insya Allah!”,
langsung aku tutup dan blecing ke bawah menuju mas faizin.
Setelah sampai
dibawah, aku langsung menemui mas faizin, “Kapan berangkatnya?”, tanyaku.
“Sekarang!”, jawab dia. “Hah, sekarang!?, oke deh, saya ganti baju dulu”,
langsung masuk kamar dan ganti baju. Kemudian aku dan mas faizin langsung
berjalan menuju jalan raya, menunggu mobil angkot tujuan Stasiun Tanjung Barat.
Alhamdulillaah, tidak sempat mengedipkan mata, mobil sudah ada berhenti di
depan, dan kami pun naik.
Stasiun Tanjung Barat,
ya alhamdulillaah kami pun sampai. Lalu beli 2 tiket tujuan Stasiun Jakarta
Kota. Tidak menunggu lama, kereta dari arah Bogor pun datang. Kami langsung
naik, dan ternyata kami mendapati kereta sudah dipenuh banyak penumpang. Maka
terpaksa kami berdiri.
Stasiun demi
stasiun telah terlewati, dan para penumpang pun satu persatu telah keluar.
“Waduh, kapan bisa duduknya nih? Sudah banyak penumpang yang turun, tapi tetep
saja belum bisa duduk”, bisikku dalam hati. Alhamdulillaah, untungnya aku sudah
terbiasa. So, aku enjoy saja dan berusaha menikmati.
Dan saat kereta
hendak berhenti di Stasiun Tebet (kalo tidak salah). Disitulah terjadi tragedi
hati. Aku menoleh ke arah kiri punggungku, lalu “Subhanallaah”, aku bergumam
dalam hati. Tanpa sengaja aku menatap seorang wanita berkerudung yang sungguh amat
cantik, dan ia pun menatapku. Lama kita beradu pandang sampai ahirnya aku
membuang pandanganku ke bawah. Perasaan normalku sebagai lelaki biasa pun mulai
bergejolak, jantung berdetak cepat, pikiran kalut, aliran darah terasa
berhenti, dan kereta pun terasa ikut berhenti pula, semuanya seakan gelap,
hanya aku dan dia yang terang. “Perasaan apa ini?”, aku bertanya-tanya
dalam hati. Karena tidak tahan, aku pun menoleh untuk kedua kalinya ke arah
wanita berkerudung yang cantik itu. Dan ternyata tatapanku tepat mengenai kedua
bola matanya. “Yaa Allaah, kenapa dia juga menatapku?!”, aku semakin
kacau, merasa pipiku benar-benar berubah manjadi merah. Tapi entah kenapa?, aku
malah betah menatapnya, dan ia pun begitu. Sampai kemudian kerata pun hampir
sampai di stasiun tebet. Lalu dia mendekat, “Aduh gawat, dia mendekat”,
pikirku dalam hati. Dan ternyata dia mendekat ke pintu, karena tanpa sadar aku
pun sedang berdiri dekat pintu. Posisiku dengannya begitu dekat, sehingga aku
berpikir untuk meraih tangannya. Tapi aku sadar bahwa itu tidak pantas untuk
dilakukan, “Astaghfirullaah, astaghfirullaah,,”. Aku hanya diam dan dia
pun diam, kita sama-sama diam, pandangan mata pun kini saling berlawanan.
Stasiun Tebet, kereta
berhenti. Maka berakhirlah tragedi hati yang menimpa lelaki ini; aku. Sungguh
aku tidak sempat menatapnya keluar dari kereta. Karena aku tidak bisa
membayangkan bakal jadi apa aku?, jika ada tatapan ketiga diantara kita; aku
dan dia. Dia keluar, dan aku masih di dalam kereta. Sebab tujuanku adalah
Stasiun Jakarta Kota bukan Stasiun Tebet.
Setelah kejadian
itu, aku tersenyum sendiri di sepanjang perjalanan. “Ini benar-benar
kecelakaan. Seharusnya ini tidak terjadi. Aku menatapnya, itu wajar karena dia
cantik. Sedangkan dia menatapku, siapa aku?. Ah sudahlah, mungkin aku mirip
dengan pembantunya atau sopirnya atau tukang kebunnya?, hehehe”, gumamku sambil
tersenyum sesak lalu beristighfar, “Astahgfirullaah..”.
Tring!
Alhamdulillaah, ahirnya sampai juga di Stasiun Jakarta Kota.
#The End#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar