Minggu, 29 April 2012

“Aku tidak tertimpa musibah ketika Aku tertimpa musibah”



            Entah keberapa kalinya, aku merasakan hal seperti ini.

Rasa yang ada pada diriku ini mungkin tidak seberapa dibandingkan dengan rasa yang ada pada diri orang lain. Walau begitu, rasa ini tetap satu nama “SAKIT”. Yah, begitulah… SAKIT, setiap orang pasti tidak menginginkannya, bahkan ada yang sampai rela menyediakan berbagai pencegahan untuk mengantisipasi kedatangannya. Itu memang tidak salah, dan itu juga merupakan sikap manusiawi dan masuk akal. Akan tetapi disamping itu, hendaknya kita juga tidak menafikan akan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Sehingga ketika sakit itu datang, kita tidak mencela usaha kita sendiri yang sebelumnya kita sudah mengantisipasi dengan sebaik mungkin. Apa lagi sampai mencela Allah subhanahu wa ta’ala; “Allah tidak adil, kenapa masih saja datang penyakit kedalam diriku, padahal aku sudah berusaha mencegah dan mengantisipasinya dengan berbagai cara. Aku sudah beli berbagai vitamin, suplemen, obat-obat herbal, berolah raga, dan sebagainya… tapi kenapa,,,, ini tidak adil, benar-benar tidak adil”. Seperti itulah gambarannya, ternyata masih ada diantara kita yang sering menggugat takdir tanpa berfikir terlebih dahulu. Seakan-akan apa yang menimpanya itu benar-benar bencana atau sesuatu yang sangat buruk untuknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (al baqoroh : 216)
Maka dari itu, hendaknya kita percaya bahwa apa yang menimpa kita adalah termasuk ketentuan dan ketetapan dari Allah subhanahu wa ta’ala. Adakalanya itu sebagai ujian pembuktian akan kesabaran kita dan adakalanya itu sebagai ujian pembuktian akan kesyukuran kita, dan pun adakalanya sebagai ujian kerelaan (keikhlasan) kita.
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (at taghobun : 11)
Lantas termasuk yang manakah kita :
a.       Bersabar atas cobaan atau musibah yang sedang dialami (Biasa), karena orang yang sedang tertimpa musibah secara otomatis akan terdorong untuk bersabar.
b.      Bersyukur atas cobaan atau musibah yang sedang dialami (Lebih dari biasa), ini yang sangat jarang. Karena kebanyakan orang ketika tertimpa musibah enggan melihat atau melirik kepada mereka yang lebih berat musibahnya, sehingga memustahilkan baginya untuk bersyukur. Meskipun dia mampuh untuk bersabar.
c.       Rela (Ikhlas) menerima cobaan atau musibah yang sedang dialami (Luar biasa), sikap ini-lah yang luar biasa yang mana tidak semua orang bisa memilikinya. Dan yang bisa memilikinya hanya-lah seseorang yang benar-benar iman_Nya kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Sikap sabar dan syukur tercakup kedalam sikap ini secara natural.
                Wahai kawan, sebenarnya ketika kita sedang sakit/tertimpa musibah,  kita bisa saja merasa bahagia jikalau kita memang menginginkannya. Lalu bagaimana…??? Katakan saja, “aku sakit/aku tertimpa musibah, tapi aku bahagia (realisasi SABAR).. terima kasih ya Allah (realisasi SYUKUR).. ini hanya sementara (realisasi IKHLAS)”. Mudahkan..!!! dan tentu di ucapkan dengan berulang-ulang sambil menyunggingkan bibir semanis mungkin. Dan jangan lupa bahwa realisasi yang sesungguhnya adalah dengan tetap beribadah, berdoa, dan bertawakkal kepada Allah subhanahu wa ta’ala, juga dengan tidak menggugat takdir_Nya. Karena itu sama saja mengingkari keputusan dan ketetapan Allah subhanahu wa ta’ala terhadap kita. Dan hukum mengingkarinya adalah KAFIR. Wal ‘iyadzu billah.
                Dan sebagai hadiyah special untuk anda wahai kawan,
Jikalau anda sedang sakit/tertimpa musibah maka ingatlah baik-baik unkapan suri tauladan kita ini dan jadikanlah ungkapannya ini sebagai penghibur hati anda.
“tidak-lah seorang muslim ditimpa suatu musibah, rasa sakit, kesedihan, kegundahan bahkan duri yang menusuknya. Melainkan akan dihapuskan dosa darinya”
 (atau sebagaimana yang disabdakan)
Dan maksud dosa dalam hadits ini adalah dosa kecil, adapun dosa besar maka penghapusnya adalah taubatan nasuha.




Tidak ada komentar: