Aku terjaga di
malam yang sunyi.
Duduk di jendela,
memeluk lutut, menatap langit.
Terbayang
gambaran wajah cantik merona, pipinya lesung.
Ia tersenyum, manis.
Tapi kemudian
kabur, bayangan itu menghilang.
Gigitan nyamuk
menyadarkanku.
“Aku melamun,”
lirih bibirku.
Teplak! kucoba
habisi itu nyamuk, tapi tidak kena “Sial!”
Kulanjutkan
melamunku, menatap langit, dan...
Air mataku
berkaca, lalu bergemericik jatuh di pipi, persis seperti gemericik hujan yang
jatuh di bumi.
“Cengeng,” ledek
suara alam bawah sadarku.
“Aku tidak
cengeng, air mata ini adalah bukti kesetiaan, aku setia merindukannya,” hiburku
mengentas suara picik itu.
Lagi, aku menatap
langit.
“Jika engkau
adalah rembulan, maka aku adalah malam. Aku gelap tanpamu. Pekat,” bisikku
bersenandung.
“Barangkali
engkau tidak tahu betapa payahnya diri ini, bertahan dalam kerinduan yang luas
bagai laut tak bertepi. Aku tak melihat ujungnya. Dimanakah ujung kerinduan ini?,”
tanyaku, entah kepada siapa!
Tapi untunglah, aku
masih teringat dengan catatanku 6 bulan yang lalu:
***Seberat apa
pun kita menanggung rindu pada seorang yang dicinta,
jika yang
menjadi sandaran adalah Allah.
maka kerinduan
itu menjadi sesuatu yang ringan dan mengasyikkan.
tiada keperihan,
tiada pula keriasauan lantaran perpisahan dan jarak yang jauh.
karena pada
hakekatnya, rindu itu membuat segalanya terasa dekat dan sebentar.
seperti zulaikha
yang bertahun-tahun merindukan kehadiran yusuf,
ia menderita
berkepanjangan dan hampir setiap waktunya ia habiskan untuk bersyair mengungkap
kerinduan pada yusuf,
sehingga
kemudian ia menemukan sandaran untuk kerinduannya; yaitu Allah Subhanahu Wa'ala,
dan setelah itu,
ia hampir lupa dengan orang yang ia rindui selama ini,
lantaran lebih
menikmati manisnya bersandar pada Yang Maha Terkasih; Allah***
Ya, ahirnya aku
menghabiskan malam bersama Dia Yang Maha Terkasih.
Bukan lagi
langit yang aku tatap, tapi tempat sujud.
Dan aku
menemukan segalanya.
Alhamdulillaah, pujiku
setulus hati untuk-Mu duhai Rabbi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar