Rabu, 02 April 2014

Halal Bersamamu Walau Hanya 5 Menit






Bag. 1

Hidup memang tidak akan pernah lepas dari yang namanya cinta. Setiap orang membawa kisah cinta berbeda di dalam kehidupan dunia ini. Tidak pernah ada yang sama, bahkan dua orang yang terlahir kembar. Kisah cinta mereka sedikit pun tidak sama. Boleh jadi yang satu berbahagia dengan kekasihnya, boleh jadi yang satu menderita keperihan. Karena ternyata kekasih yang bersama saudara kembarnya adalah seorang yang dia cintai. Sungguh tragis.

Dan berikut adalah kisah cinta yang mengharu biru antara dua insan, yang jikalau kisah cinta ini di dongengkan kepada langit, maka selamanya langit akan menurunkan hujan. Tidak pernah berhenti.

Abdul Mu’min. Ya, itu-lah nama sang lelaki yang sedang merasakan manisnya kasmaran kepada seorang gadis yang bernama Laila. Bunga-bunga cinta bermekaran di dalam hatinya. Ia jatuh cinta kepada Laila seorang gadis cantik yang sudah lama ia kenal.

Selama mencintai Laila, sedikit pun dia tidak pernah berbicara mengutarakan perasaan cintanya. Apalagi untuk mengutarakan, untuk sekedar memandangnya saja dia tidak berani. Sampai pada ahirnya terdengar kabar bahwa Laila pun mencintainya. Sungguh bukan main, betapa bahagia dirinya. Dia benar-benar merasa terbang di angkasa yang luas, menikmati kesejukan udara yang membelai seluruh tubuhnya. Cintanya ternyata bersambut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba.

Ya, memang wajar jika Laila mencintai Abdul Mu’min. Bahkan wajar jika setiap wanita di jagat raya ini mencintai Abdul Mu’min. Seorang lelaki yang terkenal dengan kepribadiannya yang santun, lembut dan ramah. Tidak hanya itu. Dia ternyata seorang Imam sholat di masjid kampusnya. Dia memiliki suara yang sangat indah. Lantunan tilawahnya begitu merdu mendayu. Siapa pun yang menjadi makmum di belakangnya, maka selamanya ia tidak ingin ruku’. Tilawahnya yang menawan, menjadikan para makmum betah berdiri di dalam barisan sholat.

Dan suatu hari di waktu Maghrib, Laila menyempatkan diri ikut sholat berjama’ah di masjid kampus. Sebelumnya dia tidak pernah tahu, kalau ternyata orang yang menjadi Imam sholat adalah lelaki yang dicintainya, Abdul Mu’min. Sehingga ketika dia melihat Abdul Mu’min berjalan menuju mihrab dan iqamat dikumandangkan, hatinya berdegup kencang. Padahal jarak barisan sholat kaum wanita jauh 10 meter dari barisan sholat kaum lelaki, dan itu pun ditambah sater (kain penutup). Laila merasa seakan-akan dia berdiri dekat di belakang Abdul Mu’min. Dia merasa bahwa hanya ada dia dan Abdul Mu’min yang sedang menjalankan ibadah sholat di masjid. Tilawah sang Imam terdengar syahdu, masuk ke relung hati. Maka semenjak saat itu, Laila pun benar-benar bertambah kagum dan cinta kepada Abdul Mu’min.

Seiring berjalannya waktu. Cinta keduanya bertumbuh dan berkembang. Abdul Mu’min langsung mengambil sikap dan memutuskan untuk melamar Laila. Dia mengirim surat kepada Laila.

“Laila, tidaklah bagus kiranya jika hal ini terus terjadi. Aku tidak sanggup mencintaimu dalam keadaan diam seperti ini. Aku ingin mencintaimu lebih dari sekedar diam. Aku ingin mencintaimu seperti angin yang berhembus, membelai dahan-dahan pohon, menggugurkan daun-daun yang kering. Aku akan melamarmu.”

Dan Laila pun membalas,
“Semoga Allah mempermudahmu dalam urusan yang engkau kehendaki. Sungguh aku sangat hawatir jikalau kedua orang tuaku tidak merestui.”

Abdul Mu’min tidak terlalu menghiraukan kalimat ahir dari isi surat itu. Dia sudah bertekad bulat untuk melamar Laila. Urusan direstui atau tidak, itu adalah belakangan. Dia sudah benar-benar siap menerima segala kenyataan yang akan terjadi.

Dan benar saja. Sesuatu yang dihawatirkan Laila pun terjadi. Kedua orang tua Laila tidak menanggapi lamaran Abdul Mu’min. Kedua orang tuanya menolak, karena ternyata Laila sudah dijodohkan dengan lelaki lain. Laila sendiri pun baru mengetahui hal tersebut, setelah mendengar pembicaraan antara kedua orang tuanya dengan Abdul Mu’min. Laila bersedih, apalagi Abdul Mu’min yang merasa dihianati. Dia sangat bersedih dan bergumam dalam hati, “Laila menyembunyikan pisau tajam, lalu menusukkannya kepadaku. Luka macam apa ini? sungguh perih.”

Semenjak penolakan lamaran itu, Abdul Mu’min memutuskan untuk pergi meninggalkan kampusnya. Dia pergi keluar kota. Abdul Mu’min merasa tidak sanggup menahan perih lukanya. Cintanya yang membara dipaksa untuk padam. Sungguh hal yang mustahil.

Dan di sisi lain, Laila merasa sangat geram terhadap keputusan kedua orang tuanya. Padahal Abdul Mu’min adalah seorang pemuda tampan yang tidak diragukan lagi kesholihannya. Namun tetap saja kedua orang tuanya lebih menitik beratkan nasab. Ya, Abdul Mu’min memang bukanlah seorang yang terlahir dari keluarga yang bernasab terpandang. Tapi siapa yang mengira bahwa kedudukan Abdul Mu’min di sisi Allah jauh lebih terpandang dan mulia daripada para raja dunia seluruhnya. Tidak ada kedudukan yang paling mulia, melainkan di saat seorang hamba berada dalam kesholihan dan keta’atan kepada Rabbnya.

Setiap hari Laila dirundung kesedihan yang mendalam, ditambah rasa bersalahnya yang terus menghantui. Dia terus bergumam lirih, “Ma’afkan aku ab (panggilan Abdul Mu’min), aku pun tidak tahu jikalau aku sudah dijodohkan. Sungguh aku merasa perih. Kamu telah pergi, pergi, dan pergi. Tapi aku yakin, bahwa cinta ini akan membawamu kembali, walau mungkin hanya untuk sebentar saja.”

Laila menangis sedu, mata sembab, “Yaa Allaah…”, teriaknya lalu tergeletak di atas kasur. Ia tertidur.

########

Bag. 2
Di kampus, Laila seperti bunga layu yang ditinggal mentari. Tidak ada keindahan yang terlihat darinya, tidak ada lagi keanggunan yang nampak darinya. Gadis cantik yang kini ditinggal pergi oleh seorang lelaki yang sangat dicintainya. Laila hancur. Hari-harinya berubah kelam. Pekat.

Dan di malam hari, di atas sajadahnya Laila menghabiskan waktu untuk bermunajat di hadapan Rabbul ‘Alamin. Dia memohon dan terus berdo’a. Dia menyerahkan segala urusannya hanya kepada Dia Yang Maha Kuasa.

“Yaa Allaah, aku jatuh cinta kepada salah seorang hambaMu yang mana Engkau lebih mengetahui tentangNya. Dia adalah hambaMu yang sholih sepanjang yang hamba ketahui, dan sepanjang yang hamba dengar dari penuturan orang-orang. Jika memang benar adanya cinta hamba kepadanya ini karenaMu, maka mohon izinkanlah hamba untuk menjadi kekasih halalnya, walau untuk sebentar saja. Hamba mohon yaa Rabb.. mohon dengan sangat. Cinta ini datang dariMu, maka hamba kembalikan, hamba titipkan, dan hamba sandarkan hanya kepadaMu agar Engkau memberkahinya, lalu Engkau hantarkan cinta itu kepada dia yang hamba cinta. Abdul Mu’min. Pergerakkanlah kakiNya yaa Rabb, agar dia datang menjumpai bidadarinya ini yang sedang keperihan menantinya.”

Dia melakukan hal tersebut hampir di sepanjang malam di setiap harinya. Sehingga kondisi fisiknya melemah, dan ahirnya dia jatuh sakit. Parah. Matanya lebam akibat kurang tidur. Tubuhnya panas-dingin. Kadang ia menggigil seperti orang yang kedinginan dan kadang ia menggeliat seperti orang yang kepanasan.

Mengetahui kondisi Laila yang demikian, kedua orang tuanya langsung bergegas membawanya ke rumah sakit. Laila harus dirawat di rumah sakit untuk beberapa waktu. Sampai sembuh atau sampai bagaimana Allah berkehendak (ilaa masyaa Allaah).

“Ayah, bagaimana ini? Laila sakit apa?,” tanya ibu.

“Entahlah, tunggu kabar dari dokter saja,” jawab ayah.

Keduanya tampak begitu cemas dan hawatir terhadap keadaan Laila. Apalagi Laila adalah anak semata wayang yang mereka miliki. Mereka tidak ingin hal buruk terjadi menimpanya.

Dua tiga hari berlalu dan Laila masih terbaring lemas. Dia sadar, tapi pikirannya pudar. Matanya terbuka, tapi hatinya berkelana.
“Abdul Mu’min,” lirih bibirnya menyebut nama itu. Lalu ia menangis. Air matanya berlinang deras membasahi pipi. Ia sesenggukan.

“Aaaaaabbb,” tiba-tiba teriaknya keras, sehingga mengagetkan kedua orang tuanya yang sedang duduk di balik pintu ruang perawatan.

Spontan kedua orang tuanya bergegas masuk ke dalam.

“Laila, ada apa?,” tanya ibu dan ayahnya.

Laila diam saja. Ia hanya menangis dan sesenggukan.

“Laila, kamu jangan bikin ibu dan bapak hawatir nak,” tutur ibunya lembut.

Laila tetap diam. Seakan tidak mendengar suara apa pun. Matanya kosong memandang ke luar jendela.

“Dia akan kembali,” bisiknya.

Ayah dan ibu laila semakin tidak mengerti dengan keadaan puterinya. Tiba-tiba ia berucap, “dia akan kembali”. Siapa dia yang dimaksud?. Kedua orang tuanya berpikir mencoba memahami maksud ucapan puterinya “dia akan kembali”.

“Abdul mu’min!, iya, abdul mu’min,” ucap ibu.
“Sudahlah bu, jangan ungkit lagi lelaki itu, hawatir laila mendengar,” kata ayah.

“Tidak ayah, justru ini ada kaitannya dengan Abdul mu’min. Ibu adalah wanita. Sangat mengerti bagaimana perasaan wanita,” jelas ibu. “Kita harus mendatangkan abdul mu’min kesini. Ibu tidak mau terjadi apa-apa sama laila, apalagi sampai mengganggu kejiwaannya,” lanjut ibu.

“Terserah ibu sajalah, silahkan ibu yang mengurus hal itu,” ucap ayah sekilas berlalu keluar.

“Halo, assalamu’alaikum.. abdul mu’min?!,” ibu memanggil dari balik handpone.

“Wa’alaikumussalam warohmatullah.. iya benar. ini dengan siapa?,” tanya abdul mu’min.

“Ini ibu laila, bagaimana kabarmu nak?,” tanya ibu.

“Alhamdulillah bu, aku baik-baik saja. Ibu bagaimana,” abdul mu’min balik bertanya.

“Alhamdulillah ibu juga baik, tapi..,” ibu terhenti dari bicaranya.

“Tapi? Tapi kenapa bu?,” tanya abdul mu’min penasaran. Mulailah timbul firasat di kepalanya. Laila?.

“Laila di rumah sakit nak, sudah hampir seminggu ini dia dirawat. Dia sering berucap, ‘dia akan kembali, dia akan kembali’. Ibu yakin, bahwa kamu-lah yang dimaksud laila,” papar ibu kepada abdul mu’min. “Kemarilah nak, temui laila,” lanjut ibu seraya memohon.

Abdul mu’min tidak berpikir panjang lagi. Dia langsung berangkat pulang, kembali ke kotanya untuk menemui laila. Padahal sebenarnya dia sedang disibukkan oleh banyak pekerjaan dan tugas-tugas. Tapi untuk laila. Semuanya itu diabaikan. Abdul mu’min memang sudah kepalang rindu pada laila. Hampir setiap malam dia memikirkan bagaimana supaya bisa berjumpa dengan laila. Ingin menghubungi nomor handponnya, tapi abdul mu’min merasa takut dan malu. Ya, takut dan malu kepada Allah. Karena laila bukanlah wanita halal baginya. “Sungguh binasalah aku!”, ucapnya disuatu malam. Air matanya meleleh membasahi pipinya. “Ya Allah, ampunilah aku!,” lirihnya seraya merundukkan kepala.

########

Bag.3

Disepanjang jalan. Abdul mu’min tampak begitu cemas. Ia tidak tenang. Semakin jarak mendekat. Semakin ia tegang. Ia kehilangan konsentrasi mengendarai motornya. Dubrakkkkkk…! Tiba-tiba sebuah mobil besar menabraknya. Ia terlempar jauh.

“Aaaaabbb!,” teriak laila di ruang perawatan. Ia terbangun dari tidurnya. Ia bermimpi.

Laila melihat jam dinding. Tepat pukul 2 pagi. Ia menangis. Air matanya deras mengalir. Terbayang hal yang buruk menimpa abdul mu’min.

“Ab, aku sangat mencintaimu. Aku ingin halal bersamamu walau hanya 5 menit. Aku ingin dipelukmu. Aku ingin keningku dicium olehmu. Aku ingin menyatukan jemariku dengan jemarimu,” lirih laila dengan deraian air mata yang terus mengalir.

Laila menyingkap tirai jendela. Langit masih tampak begitu gelap. Tiada keramaian sinar gemintang. Tiada keceriaan cahaya rembulan. Gelap. Pekat. Gulita. Persis menggambarkan suasana hatinya. Saat itu, laila belum mengetahui perihal kepulangan abdul mu’min untuk menemuinya. Ya, menemuinya. Sebab, sang ibu merahasiakan hal itu.

Laila tampak begitu kosong. Ia seperti kehilangan harapan. Cintanya membuncah. Rindunya merantah. Pikirannya gelap. Matanya pudar. Tangannya menggerayang mencari sesuatu. Dapat. Pisau.

“Lebih baik aku mati saja,” ucapnya.

Benar saja. Ia mulai mengiriskan pisau di pergelangan tangannya. Tapi agak ragu. Mulai berpikir lagi.

“Bodoh!, apa ini?,” ucap laila seraya melemparkan pisau ke tempat sampah. Dia mengurungkan niatnya. Lalu tidur. Memejamkan mata. Lelap.

########

Bag. 4


“Alhamdulillaah, untunglah aku selamat,” ucap abdul mu’min dengan hati yang berdebar-debar. 


Abdul mu’min selamat, tapi motornya tiada rupa. Hancur. Penyok. Tidak layak pakai. Untunglah sopir mobil truk yang menabraknya baik hati. Ia bertanggung jawab. Benar-benar lelaki.


“Aduh! ma’af pak. Mata saya kabur. Saya tidak begitu jelas melihat arah depan,” tutur sang sopir, yang ternyata dia masih lebih muda daripada abdul mu’min. Ia gemetar. Takut. Risau. “Pak, jangan laporkan saya ke polisi yah,” lanjutnya memelas.

Abdul mu’min tersenyum. Dia tampak begitu tenang. Seakan mengabaikan keadaan motornya. 

“Alhamdulillaah, tenang saja pak. Ketidaksengajaan itu lebih berhak untuk dimaklumi dan dimaafkan. Saya tidak marah dan tidak akan melapor ke polisi. Lagi pula saya selamat. Alhamdulillaah,” begitu lembutnya abdul mu’min. 

“Silahkan pak, kalo mau berangkat lagi. Barangkali bapak membawa barang atau amanah yang harus segera dihantar,” lanjutnya seraya mengarahkan pak sopir ke arah mobilnya. Sengaja agar pak sopir tidak melihat keadaan motornya yang sekarat.

“Terimakasih pak, saya memang betul-betul tidak sengaja,” ucap pak sopir seraya menyalami tangan abdul mu’min. Lalu ia pergi berlalu dengan mobil truknya.

Kini, abdul mu’min bingung. Jalanan sepi. Waktu masih pekat malam. Motornya hancur. Penyok. Lampu depannya pecah. Pelek bannya bengkok. Pejakan gigi motornya entah nyeliep kemana?. Tapi untunglah masih bisa diseret. 

Sekitar 500 meter ke depan ada masjid. Ya, masjid. Abdul mu’min berencana menitipkan motornya disana. Tapi harus menyeret sejauh 500 meter. Jika dilihat-lihat, dia tampak seperti maling. Berjalan di malam pekat. Menyeret-nyeret motor. “Maliiiiiinggggg…!” untunglah tidak ada orang yang berteriak demikian.

“Alhamdulillaah, sampai juga,” abdul mu’min sampai di muka gerbang masjid. Dilihatnya tiada orang. Dia masuk bersama motor penyoknya.

Sedari tadi, abdul mu’min terlihat begitu tenang. Seakan tidak ada masalah yang menimpanya. Padahal dia baru saja ditimpa kecelakaan. Motornya penyok. Perjalanan pulangnya menuju laila tertunda. Ditambah jarak yang masih jauh. Butuh 3 atau 4 jam lagi baru sampai.

“Yaa Allaah, sungguh begitu nikmat terasa urusanMu. Engkau perdengarkan kabar duka tentang laila. Lalu Engkau menghendaki hamba untuk menemuinya. Dan di tengah jalan, Engkau timpakkan musibah ini. Apatah lagi jika bukan ikhlas dan sabar sebagai sikap yang paling tepat?,” lirih abdul mu’min seraya memandang langit. 

Sedikit demi sedikit air matanya meleleh. 

“Yaa Allaah, peluklah sejenak tubuh ringkih ini, bismillaah,” abdul mu’min merebahkan tubuhnya. Ia lelah. Dan terpejam.

Allaahu Akbar! Allaahu Akbar! adzan subuh terkumandang. Abdul mu’min pun bangun.

“Alhamdulillaah, sudah masuk waktu pagi,” bisiknya.

Dia beranjak dari rebahannya. Menuju tempat wudhu. Ia berwhudu dan kemudian memasuki masjid dan sholat sunnah qabliyah 2 roka’at.

Selesai sholat sunnah, iqamat belum juga dikumandangkan. Ia menoleh ke-kanan ke-kiri. Melihat jama’ah yang sudah berkumpul. 

“Pak, tidakkah sholat segera dimulai?” tanyanya pada seorang bapak muadzin yang nampak sudah begitu tua.

“Adek bisa menjadi imam. Qadarullaah, petugas imam masjid ini sedang sakit. Jika bapak yang menjadi imam, hawatir suaranya habis,” tutur bapak muadzin seraya memberikan penawaran. 

“Silahkan!” tambahnya lagi mempersilahkan abdul mu’min.

“Alhamdulillaah, terimakasih pak. Tapi saya pakai celana, hawatir menyelisihi adat disini,” ucap abdul mu’min.

“Tidak apa dek. Ayo silahkan,” bapak muadzin mempersilahkan dan sekilas mengumandangkan iqamatnya.

Selesai sholat.

“Subhanallaah, lantunan tilawah adek begitu merdu,” ucap bapak muadzin memuji abdul mu’min.

“Alhamdulillaah, terimakasih pak,” jawabnya singkat. “Oh iya pak, boleh saya nitip motor saya di masjid ini?” lanjutnya.

“Insyaallah boleh, dimana motornya,” tanya bapak muadzin.

Setelah ditunjukkan ke arah motornya, bapak muadzin tersebut kaget.

“Inna lillaah, kenapa penyok-hancur begini?,” tanya bapak muadzin.

Abdul mu’min hanya tersenyum. Tidak memberikan penjelasan apa pun. Lalu sejenak dia teringat sesuatu. Laila.

“Astaghfirullaah, laila,” ucapnya seraya bergegas pergi berlari menuju jalan raya. “Pak nitip yah,” teriaknya sambil menoleh ke belakang.

“Ya insyaallah,” jawab bapak muadzin. “Pemuda aneh,” bisiknya. 

“Astaghfirullaah, jangan-jangan! ini barang curian?!” pikir bapak muadzin seraya meneplok jidatnya. Tapi abdul mu’min keburu masuk ke dalam bus. Berangkat. Hilang ditelan kejauhan.  

########
 


Tidak ada komentar: