Rabu, 02 April 2014

Riyakah?






Mungkin masih banyak diantara kita yang merasa dilema ketika hendak melakukan suatu kebaikan lantaran hawatir terseret ke dalam lubang keriyaan. Padahal sesungguhnya orang yang benar-benar jujur ikhlas melakukan suatu amalan karena Allah, maka tiada kehawatiran di dalam hatinya. Sebab, Ihsan sudah tertanam kuat di dalam hatinya, sehingga ketika ia melakukan suatu amalan maka ia merasa seakan-akan melihat Allah berada di hadapannya, jika pun tidak, maka ia merasa bahwa Allah benar-benar sedang memperhatikan apa yang ia perbuat.

Disamping itu, kita juga seringkali mendapati orang-orang yang berkomentar sinis terhadap kebaikan yang kita lakukan; “Alah! Cuma pengen dipuji aja tuh orang, berlaku baik, tampil rapi, dan bla bla bla..”. Lalu kita pun terpengaruh dengan ungkapan tersebut, sehingga kemudian kita berhenti melakukan kebaikan. Padahal tidak setiap pujian yang datang pada kita itu bertanda kita riya. Maka jangan hiraukan jika ada orang yang berkomentar sinis kepada kita seperti contoh diatas. Karena sebenarnya itu hanyalah kedengkian orang yang tidak mampu berbuat baik seperti kita saja.

Perhatikanlah apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, barangkali ini bisa menjadi motivasi sekaligus inspirasi buat kita untuk sentiasa berbuat kebaikan dalam segala hal dan tidak takut dengan riya’. Action yes, Riya never!

Dari sahabat Abi Dzar Radiyallahu ‘Anhu berkata: dikatakan kepada Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Wahai Rasulallah! Bagaimanakah pendapatmu terhadap seorang yang melakukan suatu kebaikan, kemudian banyak manusia memujinya atas perbuatan baiknya tersebut?”.
Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun bersabda,
“Itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuk orang mu’min.” (HR. Muslim)

Dari hadits ini kita dapat mengambil kesimpulan bahwa orang yang memang dari awalnya sudah ikhlas melakukan kebaikan, maka kita tidak boleh menganggapnya telah berbuat riya. Adapun pujian yang didapatnya dari banyak manusia, maka itu adalah kabar gembira yang disegerakan untuknya. Karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala apabila menerima atau mencintai suatu amalan dari hambaNya, maka Allah menjadikan manusia lain senang dengan amalan hamba tersebut, sehingga mereka pun memujinya. Atau bahkan mereka menjadi iri dan ingin bisa berbuat seperti apa yang diperbuat hamba tersebut. Ini merupakan buah dari keikhlasan seorang hamba, yang mana dengan keikhlasannya ia mendapat ridho dan cinta dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, lalu kemudian Allah pun menanamkan rasa kecintaan di hati semua makhluq yang ada di muka bumi, sehingga mereka pun mencintainya dan keberadaannya selalu dirindukan oleh banyak orang. Subhanallaah wal hamdulillaah.

Dan berikut amalan-amalan yang dianggap riya, padahal itu bukan riya;

1. Seorang hamba yang bersemangat melakukan kebaikan ketika ikut berkumpul bersama para ahli ibadah, atau ketika ikut bermajlis dengan orang-orang sholih.

Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi Rahimahullah berkata,
“Terkadang ada seorang yang ikut bermalam bersama ahli tahajjud (entah di rumahnya atau di masjid), dia ikut sholat sepanjang malam bersama ahli tahajjud tersebut, padahal kebiasaannya adalah tidur. Kalaulah bukan karena ahli tahajjud, maka dia tidak bersemangat untuk melakukan hal itu”.
Dari sini, mungkin kita mengira bahwa orang tersebut telah berbuat riya dan itu memang bisa terjadi. Akan tetapi kita harus memandangnya secara objektif.
Beliau Imam Ibnu Qudamah al Maqdisi Rahimahullah melanjutkan,
“Setiap mu’min yang bagus keimanannya selalu senang dan bergembira melakukan ibadah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, tetapi terkadang ia terhalangi untuk melakukan ibadah disebabkan kemalasan, kelalaian atau kesibukan yang tidak berguna. Maka barangkali dengan ikut bergabung bersama para ahli ibadah atau orang-orang sholih, semua sebab buruk tersebut menjadi hilang dan timbul-lah kesemangatan baru dalam dirinya untuk melakukan ibadah dan amalan-amalan baik. Maka dalam hal ini, dia tidak termasuk orang tercela yang berbuat riya, kecuali jika memang dia sengaja bermaksud agar dianggap sebagai ahli ibadah atau orang sholeh (di mata manusia), maka sungguh buruklah ia”.

Kemudian beliau menyarankan agar kita sentiasa ikut bergabung bersama para ahli ibadah dan orang-orang sholih sambil berusaha memperbaiki niat dengan mengikhlaskannya hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Karena jika kita sendirian jauh dari jama’ah, maka syaithan akan mudah menguasai kita sebagaimana sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Hendaklah kalian sentiasa berjama’ah, karena serigala hanya memburu kambing yang sendirian.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i dan Ahmad)

2. Menyembunyikan/merahasiakan dosa terkadang dianggap sebagai perbuatan riya, sedangkan menceritakan/menyebarkannya dianggap ikhlas. Maka sungguh ini sangat keliru. Karena merupakan kewajiban bagi seorang hamba yang melakukan perbuatan dosa adalah menyembunyikan perbuatan dosa tersebut dan merahasiakannya serta tidak menampakkan atau menceritakannya ke banyak orang. Perlu diingat bahwa membicarakan perbuatan dosa sama saja dengan menganggap remeh batasan-batasan Allah, sehingga dihawatirkan orang yang mendengarnya akan terdorong untuk melakukan perbuatan dosa yang sama sepertinya. Wal’iyadzubillah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah memperingatkan dalam firmanNya,
“Sesungguhnya orang-orang yang senang dengan tersebarnya keburukan/aib di halayak kaum mu’minin, maka bagi mereka adzab yang pedih.” (An Nur : 19)

Dan Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun bersabda,
“Setiap umatku akan dimaafkan kecuali al mujahirun, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan dosa di waktu malam, dan ketika masuk waktu pagi Allah telah menutupi dosanya tersebut. Tapi kemudian ia berkata kepada orang lain (seakan bangga), “wahai fulan!, semalam aku berbuat begini dan begitu (yaitu perbuatan dosa)”. Sungguh padahal Allah sudah menutupi perbuatan dosanya di waktu malam, namun ia malah mengungkapkannya sendiri di waktu pagi.” (HR. Bukhori-Muslim).

Maka barangsiapa yang menyangka bahwa merahasiakan perbuatan dosa adalah riya’, sedangkan menceritakannya adalah ikhlas. Maka sungguh ia telah diperdaya oleh syaithan. Wal’iyadzubillah.

3. Membaguskan/mengindahkan pakaian dan sandal/sepatu; mungkin sebagian kita masih ada yang sering berkomentar miring terhadap saudara-saudara kita sesama muslim yang berpakaian bagus dan indah. Dan tidak jarang kita menganggap mereka sebagai orang yang berlaku riya’ dan sombong. Maka perhatikanlah baik-baik sabda Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wa Sallam,

“Tidak akan masuk syurga orang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan walau seberat biji dzarroh (sangat kecil)”, kemudian seseorang berkata, “Ya Rasulallah! Sesungguhnya ada seseorang yang senang memakai pakaian dan sandal yang bagus/indah”, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, mencintai keindahan. (yang dimaksud dengan) kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia.” (HR. Muslim)

4. Sesungguhnya agama Islam mencakup berbagai hal dalam perkara ibadah yang tidak mungkin bisa disembunyikan/dirahasiakan. Seperti halnya ibadah haji, umroh, sholat berjama’ah, sholat jum’at, sholat ‘id, dan lainnya yang mana kesemua itu tidak mungkin dikerjakan secara rahasia atau tersembunyi. Maka dalam hal ini, menampakkannya bukanlah termasuk perbuatan riya’ bahkan merupakan kewajiban bagi kita untuk menampakkannya. Karena itu merupakan syi’ar-syi’ar Islam yang perlu kita umumkan di halayak masyarakat, agar mereka bisa mengambil keteladanan dan pelajaran.

Allah Suhanahu Wa Ta’ala berfirman,
“Demikian itu, barangsiapa yang mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah maka itu adalah termasuk ketakwaan yang ada didalam hati.” (Al Hajj : 32)

Tidak ada komentar: